Tuesday, April 30, 2013

Tidur

Aku mau tidur, tidur yang agak lama, agak pulas
Seperti waktu bersama orang-orang yang kusayangi
Seperti waktu di tengah-tengah mereka
Seperti waktu pandangan mataku mengatakan, semuanya baik-baik saja

Lama-lama kata-kataku jadi kacau balau
Pecah, parau
Retak, bergemeretak

Aku mau tidur, tidur yang agak lama, agak pulas

Wednesday, April 24, 2013

Perihal Cinta


dicintai itu menjadi berharga, mendapatkan kebaikan dan takut kehilangan

mencintai itu terpedaya, membayar harga tertinggi kemanusiaan, berharap lebih

oleh karena cinta adalah ilmu hati

dan orang-orang sepertiku tak mampu merangkumkan jejakannya

sebab mungkin itu sebabnya

bahwa orang-orang yang bersikap kasar bukanlah orang yang mencintaimu
bahwa orang-orang yang bersikap sombong bukanlah orang yang dicintai

sebab mungkin itu sebabnya

terlalu banyak sikap yang dipelajari
padahal perkara ilmu hati

Tuesday, April 23, 2013

Reposisi


Reposisi ilmiah berkutat pada strukturasi kotom dan definansi. Alur historical dan presisi factual, mencoba menakar figuritas futuristic. Salah sasaran.
Dulu dikiranya realism adalah pola geser yang sejajar dengan romantic. Rupanya renaissance jadi candu lampu-lampu obrolan filsafat eropa. Dulu dikiranya Kaum Bangsawan Inggris petinggi oligarki komunal, rupanya sekarang ditulis sebagai penggagas parlementerian internasional. Dulu katanya putik bunga betinanya benang sari sekarang rupanya standarisasi fragmen perbanyakan tanaman tak sebegitunya seperti wanita dan laki-laki.
Kotom dan definansi. Historis dan factual.
Sama saja sekarang kita pikir bahwa demokrasi merupakan balasannya otoritarian. Tapi nomokrasi dan teokrasi seakan jadi skema in the book yang tak perlu lagi diperbincangkan selain sebagai prawacana alternative.
Kehidupan ini, hanya permainan saja. Senda gurau yang tak berharga. Lebih rendah dari jalan-jalan yang penuh nanah. Berbau busuk dan dialogis.
Sebab di setiap tataran, pertemuan kebenaran dan kebatilan tak pernah terhindarkan. Sebab disanalah dukungan kausalitas akaran tertegaskan. Sebab dari sanalah denyut perjuangan kehidupan ini ditarik dan tak pernah untuk terselesaikan. Untuk mengantar berjatuhan orang-orang hina dan terhinakan. Juga mengantar kembalinya orang-orang selamat dan terselamatkan. Maka reposisi ilmiah masih berjalan terus membingungkan peradaban kemanusiaan di setiap tingkatan.
Kita hanya perlu coba menyusurinya.
Karena aku tak pernah sebegini inginnya menelusuri.
Karena perlahan sebuah perasaan bisa muncul dan pergi. Mengejawantahkan dirinya dalam renungan malam yang panjang. Kerinduan yang meletakkan nalarnya pada purifikasi ordinat yang menjembatani hati. Tiba-tiba saja, reposisi ilmiah mengharuskanku membuka definansi tentang ordinat kau dan aku. Kita. Semacam dua tepi yang bersebrangan, bukan? Oleh karenanya, katamu, melingkar, menemui batas-batas lingkaran. Ah, aneh.
Bahwa yang kukatakan itu benar, setidaknya tentangku saja. Kau tak perlu mereposisinya lagi, seakan lebih mengerti. Orang-orang yang menyampah di sudut-sudut ketulusan orang lain sepertimu, ak patut dipertanyakan, katanya.

Terbelakang


Suatu hari saya pernah berpandangan bahwa menjadi sekunder adalah hal yang begitu menyakitkan. Menjadi kedua setelah yang pertama atau jembatan di perbatasan tujuan. Tambahan.
Lalu suatu kali terbit sebuah pemikiran bahwa pada korelasi dasarnya kita Cuma bicara soal takdir yang menyeret, bukan yang terseret-seret. Apakah dalam perpanjangan sejarahnya kita menjadi orang-orang yang utama atau pelengkap saja, atau bahkan bukan siapa-siapa. Ini soal tribulasi faktualnya.
Saya akhirnya, tidak kecewa. Mengetahui bahwa sebagian orang, mungkin, dengan suatu proporsi kemampuan dan kecendrungan tertentu pada perwujudannya adalah kontestasi secondary.  Termasuk saya. Anda yang merasa memiliki presisi seperti ini. Kita, tak perlu kecewa.
Sebab telah saya temui bahwa pada kenyataannya, saya juga ingin berpisah dengan semua orang yang telah saya temui di masa lalu, juga di masa ini. Kita hanya perlu menerabas rumput baru dan pada kesudahannya, kita pun kembali jadi yang kedua.
Orang-orang seperti kita, umpamanya penumpang yang baru datang. Atau kapal yang selalu lewat dan tak pernah kembali ke dermaga yang sama. Atau semut yang mati di perpanjangan jalan perjuangannya. Dimangsa kesadaran pribadi. Sebab kepercayaan seperti itu, rupanya, tak bisa kau berikan pada siapapun.
Orang-orang seperti kita, layaknya tak boleh dimengerti. Sebab dengan demikian, langgeng-lah manifestasi sosial. Atau rusaklah stabilitas progresif konstruksi pemapanan cara gaul anak jaman sekarang. Sedikit concern pada dilematika pribadi kita saja, tandas rancangan, melaut di batasan.
Beberapa orang yang terkaruniai anugerah lain, dalam konteks ini, bukanlah secondary term. Merekalah para penduduk utama dunia. Merekalah orang-orang yang beranak pinak di daratan bumi biru. Mereka, bukan secondary seperti kita. Melihat bahwa segala sesuatunya adalah bantalan yang berisi lembutan. Mengikrarkan diri, bahwa keseriusan yang satu berhubung pada keseriusan orang yang lainnya. Menyejajarkan diri dengan mereka, bagi kita, kejauhan. Kehormatan yang berjejak.
Saya sempat kenal beberapa orang yang terkaruniai seperti ini. Disana sini, move on. Disana sini, kesulitannya adalah sesuatu yang progress bukan regress, seperti kita. Dilihat, ditanya dan bagi mereka, di ajak bicara.

Monday, April 22, 2013

Tulisan


Ilmu pengetahuan adalah asumsi yang termapankan. Bagaimana seseorang bisa melogikakan sesuatu dan mengatakan bahwa, “inilah kebenaran.” Bagaimana seseorang bisa bermain dengan dilematika ketundukan, klaim holistikasi dan dominansi. Maka sebagian dari kita adalah pengikut dan yang lainnya diikuti. Sebagian dari kita adalah pencatut dan yang lainnya memakan kewibawaan dengan ketercatutan dirinya.
Inilah semacam kerapuhan. Sesuatu yang kusebut, setengah mabuk. Sesuatu yang ku anggap kelucuan. Sesuatu yang kusebut permainan dan oleh karenanya aku bosan. Mengetahui bahwa tidak ada lagi ketertarikan atas ilmu pengetahuan duniawi. Menilik logika-logika kemanusiaan lalu terbinasakan.
Beberapa orang yang mengesankanku beranggapan bahwa pandangan ini begitu naïf untuk disentuh. Kepercayaan, meletakkannya pada tempatnya. Ini persoalan antusiasme, proporsionalitas, pembelajaran, proses, tarbiyah. Malapetaka, bagiku. Bagaimana sebuah pesona memakan kita pada dataran ilalang yang tak terjamah tangan. Melihatnya saja, menyejukkan mata. Tapi berkeliling dengannya adalah persoalan serangga, lain lagi.
Para ahli biologi atau kedokteran menemukan bahwa pengetahuan itu adalah rumus-rumus alam yang ditemukan. Rumus alam yang ditemukan seseorang dengan perlogikaan dan penginderaannya. Manusia hanya melansir, mengurai dan mencoba memahami. Dengan pandangan sempitnya. Sejauh butuhnya, antusiasmenya, dilematika pribadi dan komunalnya. Bermanfaat. Bagi perikehidupan rezimnya.
Maka telah kutuliskan sebuah kerapuhan yang menggerogoti kemanusiaan abad ini. Bahwa seleraku telah berkurang. Bahwa keindahannya sebatas fatamorgana. Berbalik, terbalik. Mungkin ini juga salahsatu bagian permainan dunia. Dan sudah hampir pasti saja. Aku. Kau.
Kata-kata yang mencoba menalar. Kata-kata yang bertikai. Kata-kata yang merangkumkan.
Bukti-bukti yang menguatkan. Semacam menjadikan mekanisme dalil sebagai pin-point peradaban. Ya, bukankah kita hanya dapat menghakimi lahirnya. Menarik konteks sentripetal tertentu dalam masing-masing ego pribadi kemanusiaan. Bahwa ilmu pengetahuan itu jahat.
Pada intinya equilibrium. Tawazun. Keseimbangan. Titik-titik perimbangan. Pilihan-pilihan. Kebijaksanaan kontekstual.
Kita tahu bahwa pada titik ini aku bicara soal hal yang begitu non-eligible. Bagaimana bisa mulut kita memakan semua yang telah matang sekaligus? Bagaimana bisa kita mengenakan apa yang baru saja dijahit di seluruh dunia? Bagaimana bisa kita pikirkan apa yang baru saja didengungkan sepanjang daratan dunia. Sama sepertiku, kau juga tak bisa melakukannya bukan? Maka pikiran ilmu pengetahuan harus dipersempit pada studi kontekstual. Apa yang terlibat di dalam kasus. Apa yang menjadi variable-variable riil di dalamnya. Diolah, memperoleh tujuanku ataupun tujuanmu atau tujuan kita bersama.
Ada lebih dari satu dimensi di dunia ini. Jika saja x adalah dimensi waktu. Lalu y adalah dimensi tempat. Untuk merangkum tarikan garis lurus di satu x di seluruh y, kita tidak akan mampu bukan? Maka selanjutnya, kita sadari, ada z sebagai dimensi subjek, p sebagai dimensi setting social, q sebagai dimensi tribulasi alam dan seterusnya masih banyak lagi. Untuk menangkap tarikan-tarikan dimensional itu, kau harus menemukan titik-titiknya. Untuk melihat gambar yang coba diceritakannya padamu, sekedar sebuah gambar kecil yang memungkinkanmu membacanya. Segitiga, kotak, lingkaran ataukah segilima? Segienam? Segidelapan? Studi kontekstual. Tarikan nalar. Padaku.
Aku tak seperti itu, aku menarik garis dan tak mampu membaca gambarnya. Menghubungkan titik-titiknya. Mencari presisi. Mengurai tribulasi. Bersikap proporsional, antusias, bukan aku. Kau?
Maka sebuah titik yang kubicarakan tak mungkin mereposisi dunia.  Tak mungkin sebuah titik atau garis saja. Sebab sebagian dari kita ternyata punya antusiasme yang lebih besar dari kalimat ketidakantusiasannya. Lebih punya selera di balik ketidakselereaannya. Mungkin kau. Yang pasti aku.
Kepastian yang pengetahuan. Sekalipun tentangku. Setujukah bahwa ia termasuk asumsi yang termapankan?
Termasuk kau. Tulisan ini juga, bukan?

Wednesday, April 17, 2013

Kebasahan

Sendu yang mengalir semacam rumitansi hujan. Saat kita tanpa payung. Saat angin begitu besar. Saat satu arah mengantarkan kita pada sebuah definisi utama, kebasahan. Saya tak pernah merasa sebegitu sendunya kebasahan, kecuali sore ini. Sesuatu yang mungkin di luar dugaan.

Ganti cita, ganti nuansa. Ganti pola, ganti wacana. Sebentar saja, kata beliau.

Apa yang tiba-tiba akan anda lakukan atau sampaikan ketika berhubungan dengan suatu pewacanaan yang secara serius tidak pernah anda hadapi? Berlagak tahu? Ya, mungkin saya sebagian dari anda yang menjawab, iya, pada kali ini. Tidak terlalu parah mungkin. Karena saya sedikit punya pengetahuan walaupun mungkin kosong pengalaman, kosong kontekstualita.

Baiknya hanya berharap bahwa dia adalah yang terbaik di sisi Allah. Siapapun, darimanapun, bagaimanapun. Yang setulus keihlasan. Yang sekedar punya kecukupan energi cinta. Yang tidak saya temui untuk dosa. Yang mengingatkan saya akan surga. Biasa saja.

Lalu saya melirik beliau lagi, wajahnya masih sumringah, khas wanita sholehah. Ah, terjebak, terpaksa bicara soal itu juga. Kebasahan tiba-tiba.

Perihal Keanehan

Setiap orang pastilah memiliki keanehan di dalam dirinya. Entah disadarinya atau tidak. Entah disadari mereka atau tidak. Keanehan itu akan bercokol, semacam penyakit yang tidak mematikan, memberikan disparitas kepribadian internal dan menunjukkan sesuatu yang disebut kelebihan atau kekurangan.

Keanehan biasanya berwujud sebuah garis miring ke kanan atau ke kiri dari keadaan quo yang diamini publik. Ia bisa muncul pada satu momentum saja, bagi sebagian orang, dan bagi sebagian yang lainnya, ia berlanjut terus menerus. Pada intinya keanehan adalah sebuah resultante faktual atas ketidaksinkronan logika publik yang pada kebanyakan kasusnya terdefinisi secara logis melalui sebuah mekanisme 'keheranan' atau 'ketakjuban',

Seorang sahabat pernah menghibur saya dengan logika ini. Sambil renyah tawanya sesekali mengisi udara. Walaupun sesekali juga terdengar retak di pertengahan, tanda bahwa ia sendiri kurang yakin atas apa yang dikatakannya.

Tapi baiklah kita menganut logika pragmatis saja pada kali ini. Bahwa menganggap yang demikian itu benar, bagi saya, saat ini, adalah sebuah kesyukuran. Bahwa, bagi saya, saat ini, adalah sebuah hiburan. Tenang, membuka kembali kata-kata qur'ani yang begitu tinggi yang seringkali tidak kita mengerti.

"Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah." Q S Al Hajj ayat 5

Apa saja keanehan anda? Apa saja hal aneh yang pernah anda lakukan atau pikirkan?

Disebut atau dianggap aneh bagi saya dalam kurun beberapa tahun yang lalu adalah sebuah kasus yang memuakkan. Tapi kini, tentu saja, tidak lagi. Hanya saja, kadang, saya suka berduaan dengan diri saya sendiri, menanyakan kembali, berharap afirmasi yang menyejukkan keluar sebagai pengobat. Dan saya tidak merasa terkucilkan lagi.

Sebenarnya, menjadi aneh bukan hal yang begitu buruk, kadang saya berpikir lewa jalan macam itu. Kita bisa membuat sesuatu yang tak bisa dibuat orang banyak. Kita tidak bisa melakukan hal yang orang banyak dapat lakukan, itu juga sebuah kesyukuran tersendiri.

Mana anehmu? :3

Tuesday, April 16, 2013

Variabel Kontrol

Ada banyak hal yang tidak dapat berubah di dunia ini. Entah kau sadari atau tidak, variabel kontrol itu selalu mengikat selayaknya tabel logaritma. Entah itu tentang dirimu atau mereka, tentang reposisimu atau reposisi logika.

Sebab sejatinya kita berjejer dalam suatu rumus kausalitas yang tidak terbarukan. Yakni barangsiapa baik amalnya, maka baiklah balasannya, secara ukhrawi. Yakni barangsiapa bersabar dan bersyukur maka ditambahlah nikmat atasnya. Tak peduli ada dimana, bagaimana, dan siapa dia. Variabel kontrol semacam ini selanjutnya menjadikan kita orang-orang yang bertebaran di bumi Allah secara sempurna, sama. Diuji, dibalas, ditimbang dan diberikan peringatan.

Begitu besarnya rahmat Allah subhanahu wa ta'ala yang melingkupi setiap rumusan yang tak berubah ini. Begitu ringannya pemberianNya. Begitu sempurnanya kecintaan hakikiNya. Sebab niat baik kita telah berpahala sementara niat buruk kita masih termaafkan.

Kita berjejer dalam kausalitas yang tidak terbarukan. Lagi-lagi kukatakan, sunnatullah. Selayaknya perimbangan yang begitu matang. Frekuensi dan range aplikasinya begitu indah. Disana dan disini. Sekecil ini ataupun sebesar itu. Variabel kontrol itu masih dengan perkasanya berlaku. Menjadi sebuah hukum angkasa raya dan selanjutnya mengajarkan kekhusyukan. Subhanallah

Sunday, April 14, 2013

Welcome and Goodbye



Yatto mitsuketa atarashii asa wa, akhirnya kutemukan sebuah pagi yang baru. Tsukihi ga jama wo suru, walaupun waktu membatasi kita. Mukau saki wa tsugi ja nakute, yang menantikanku bukanlah masa depan. Sugi bakari oikaketa, tapi masa lalu yang mematikan. SID ft Akira Nishihira - Rain

Mimpi adalah sebuah pertengahan kehidupan. Waktu-waktu yang berbatas dengan realita dan perasaan pencapaian. Momen dimana lebih baik hidup daripada mati. Saat mata terpejam atau terbuka, di bawah dirimu, bergerak sebagai refleksi diri yang sesungguhnya.

Seseorang mengatakan bahwa ada baiknya aku menuliskan sesuatu untuknya. Bercerita, mereposisi keadaan. Untuk terkuatkan, menguatkan yang lainnya. Sebab katanya, bukankah hikmah diselipkan dari masing-masing diri kita? Kehidupan kita? CErita-cerita kita? Bukankah setiap kita berbeda dan sama?

Ya, sebenarnya, iya. Tapi bercerita adalah hal yang mungkin telah begitu jauh. Lama tak kulakukan.

Bagiku setiap orang adalah sebuah fragmen keistimewaan. Setiap dari mereka memiliki dilematika tersendiri, karakteristik dan keindahan. Aku suka belajar, melihat betapa Allah begtu sempurna menciptakan. Sebab bagiku, cerita mereka lebih menarik, menggelora, penuh ketulusan. Tapi mungkin karena halusinasi dan sentrifugal egoku, tak semuanya terlihat seperti itu juga, bagi mereka, bagiku juga.

Selamat datang, selamat tinggal. Sebab 10, 20, 30, atau 60 tahun hidup kita sejatinya begitu singkat, sahabat. :)