Thursday, December 26, 2013

Setidaknya (Part Three)

                    Hal apa yang paling menyibukanmu dalam hidup? Apakah pekerjaan? Keluarga? Sekolah?
                Bagiku tidak semua dari itu menarik untuk dijadikan kesibukan. Aku rasa-rasanya tidak suka dengan semua hal yang kutemui. Terlebih kau.
                Bicara denganmu bisa membuatku harus berusaha keras menjadi orang lain. Mengetahui keberadaanmu cuma menambah sakit kepalaku saja. Senyummu itu tidak berguna selain menjadi tambahan alasan bagiku untuk membencimu. Dan seluruh orang di dunia. Aku tidak suka kau tersenyum sambil berpikir ini hiburan bagimu. Karena semua orang yang kutemui selalu berpikiran begitu.
--------
                Ini Pegunungan. Sebuah kota yang begitu aneh. Disini tidak terlalu banyak orang tinggal. Setidaknya tidak bila dibandingkan dengan Jakarta. Ini kota Batu. Pertengahan antara Kota Malang dan Kabupaten Malang. Jawa Timur, timurnya pulau Jawa.
                Aku bersyukur dapat kembali ke tempat semacam ini. Setidaknya ini lebih segar daripada di pantai. Aku tidak suka ke pantai, terlebih liburan akhir tahunku selalu di isi dengan pergi ke pantai bersama orang-orang bodoh sekelas. Tidak di Jakarta, tidak disini, aku tidak suka pantai, membuatku terobsesi untuk ditelan keserakahan alam saja. Semacam gelombang lautan yang menyeret ke tengah pusaran. Sebab sejak aku lahir, aku hanya kenal keserakahan manusia yang mengunyahku hingga serpihan.
                Ini berlebihan.
                Setidaknya sekarang aku tidak sendirian.
                “Voleta Zora.” Ujarnya.
                “Vincent Zoe.” Balasku, “Ternyata seperti ini rasanya bicara dengan saudara kandung.”
                Kami benar-benar duduk di pinggir jurang seperti yang pernah kulakukan tiga tahun lalu, di tempat ini.
                “Apakah kita kembar?” tanyaku.
                Zoe tersenyum lebar, lalu menyeruput lagi secangkir besar cappuccino-nya. Ia menggeleng, “menyedihkan sekali, adik. Don’t you really like a fool? Apa saja yang di ajarkan ibumu selama ini?”
                “Kalau begitu jarak kelahiran kita pasti ga lebih dari setahun.”
                “Kenapa?”
                “Lo tuh keliatan lebih bego dari gue.”
                Matanya membelalak, menatapku, speechless rupanya.
--------
                Mau bagaimanapun aku memang lebih bisa di andalkan daripada Zoe. Aku punya poin IQ lebih tinggi darinya. Aku mulai terbiasa mengurus usaha ibuku yang tanpa belaskasih itu sejak masuk perkuliahan. Kelebihanku yang paling utama, aku bisa bekerja sendiri, aku tidak punya orang kepercayaan yang sewaktu-waktu dapat merutukiku di belakang atau menusukku saat lengah.
                Tapi ini tidak adil.
                Karena Zoe jago beladiri. Ia mengurus sahamnya di bawah bimbingan ayah sejak ia berumur 10 tahun. Ia punya segerombolan laki-laki pecundang sebayanya yang dipercayainya dalam banyak hal. Setidaknya Zoe juga punya kulit wajah yang lebih cerah dariku. Ia tidak perlu mengalami masa kanak-kanak dimana para ibu begitu mengkhawatirkan kulit sensitif anaknya meradang sehingga memakaikan begitu banyak anti-UV yang malah membuat pigmen kulit transisi warna.
                Setidaknya saat ini Zoe bisa menemui ayah ketika pulang ke Singapur sementara aku tidak dapat menemukan ibu dimanapun sejak hampir 6 tahun terakhir ini. Aku tidak tahu.
                Aku memang selalu jadi orang yang ditinggalkan. Saat ini, kemarin lalu maupun di masa depan. Setidaknya aku lebih dapat di andalkan. Aku tidak seperti Zoe, saudaraku. Dia manja dan sok tahu.
--------
                Jalan menuju Kota Malang hanya lurus saja. Setelah kami singgah sholat maghrib di Masjid besar di persimpangan jalan protokol. Aku berencana untuk tidur saja, membiarkan Zoe menyetir sendirian. Aku sudah cukup tersakiti seharian ini, mendengarkan kabarnya yang 18/19 tahun terakhir ini.
                Sebenarnya aku masih berkeyakinan kami kembar tapi Zoe bilang, itu tidak mungkin. Ia punya dua akte kelahiran, yang satunya bertuliskan tahun 1994 dan satunya 1995. Sementara aku punya tiga akte kelahiran, bertuliskan tahun 1992, 1994, dan 1995. Tapi tanggal lahir kami tidak ada yang sama. Jadi Zoe yakin bahwa aku kelahiran 1995 sementara ia 1994 karena di tahun 1992 menurutnya orangtua kami belum bertemu. Siapa yang tahu? Dia memang sok tahu.
                Seperti itulah Zoe, rambutnya lurus hitam potongan cowok standar. Kulit langsat cerah, mata sipit tanpa lipatan kelopak yang sama sepertiku, khas keturunan orang Cina. Dia punya jaket mahal, jeans dan handphone limited edition yang hanya bisa langsung dibeli di Finlandia. Zoe orang kaya, tidak sepertiku. Zoe bilang itu wajar, karena aku dibawa ibu sementara ia dibawa ayah. Seorang lelaki lebih bisa bertanggungjawab soal bagaimana menghasilkan uang, bagaimanapun juga, katanya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, lalu memalingkan wajah darinya. Kurang ajar. Mungkin lainkali aku harus membalas dendam untuk ucapan sembrono-nya itu.
                Dia tentu tidak pernah berpikir bahwa aku begitu muak dengan uraiannya soal hidup makmur tanpa telepon berisik yang menagih hutang sekaligus updating harga bunga searah putaran jual beli kurs mata uang. Aku bisa gila.
                “Ayah pernah cerita soal gue?”
                Zoe menggeleng. Lalu meneruskan kembali pijakan kaki kanannya di pedal gas, kami terjebak macet di jalan yang sekedar lurus ini. Sama seperti kebanyakan manusia, macet di jalan lurus, saling berdesakan, sempalan.
                “Sama sekali ga pernah?”
                “Katanya mau tidur, dik.”
                “Kok bisa ya, mereka berdua sehebat itu. Ibu juga ga pernah ngomong-ngomong soal elo.”
                “Call me kakak, abang, mas? Big-brother, or else?” Zoe tersenyum sok dewasa. Aku jadi tambah muak.
                “What a really nonsense.” Lalu aku terdiam.
                Beberapa kenangan masa laluku semburat mengalir. Bagaimana aku dikirim ke asrama yang sangat jauh dari rumah sejak masa kecilku. Bagaimana aku pulang ke rumah dan semua orang mengatakan bahwa ibuku telah pergi dengan hanya meninggalkan sepaket tumpukan kertas di atas meja belajarku. Bagaimana aku memarahi orang yang jauh lebih tua dariku di setiap rapat yang ku pimpin. Bagaimana aku menghadapi pegawai bank. Bagaimana orang lain menggantikan ibuku lalu berpura-pura jadi kedua orangtuaku yang berbahagia, memakan harta di rumahku lalu setelah mulai tiris mereka pergi. Juga bagaimana aku berpikir betapa sial tidak memiliki satu-pun orang yang menjadi keluarga.
--------
                “I’ll take you here on 7 am.” Kata Zoe sebelum melepaskan kuncian pintu.
                “I need to sleep over the day. Brilliant brain need to rest.”
                Zoe tertawa geli mendengar jawabanku, “What kind of brilliant, Little Miss? Leave the sleep. We’ll found our mom tomorrow.”

                “Nonsense.” Jawabku, keluar dari ‘barang pribadi’nya yang mewah dan patut dipamerkan itu.

Monday, December 16, 2013

Perlawanan

Kita ini tengah menghadapi sebuah rezim yang menjulang kokoh. Tinggi menghalangi pandangan. Rezim kedzoliman.

Kita ini tengah melawan sebuah kekuatan yang tersusun sejak lama. Angkuh, mengakar. Kekuatan yang menindas kebenaran.

Bagi rezim kedzoliman, kita cuma itik yang diseret kepentingan mereka. Bagi kekuatan yang menindas, kia cuma pinggir lautan yang dilemahkan.

Maka, kuatlah, kuatkanlah kekuatan ini, sahabat.

Sunday, November 24, 2013

Ilmu Bertahan (Part Two)

Rindu adalah ketika kau tidak dapat mengambil definisi terbaru soal waktu-waktu. Rindu adalah karena makna-makna batinmu jadi sekedar menggelayuti ruang-ruang pikirmu. Rindu adalah karena yang tiada jadi begitu ada, lalu menyalamimu dengan sentakan seketika, berkata bahwa, ia harus pergi tanpa tangisanmu. Dengan begitu kau jadi menyadari bahwa kau benar sebegitu rindu padanya.
Hatiku jadi kapas yang dihembus aliran udara mikrotik. Terbang sekaligus kebasahan. Sirkuit yang butuh penerangan. Atau semacam mengetahui sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Jadi sendu, biasa memakan kesakithatian sambil pura-pura tidak. Aku jadi perempuan yang semacam itu, pada akhirnya. Menyembunyikan, sesekali.
Mengapa jadi begitu mahalnya bicara denganku. Aku bertanya tanpa tanda tanya. Berputar, melintang. Menerobos, menggelitik, rindu.
Ini soal ilmu bertahan.
--------
                Bangunan putih gaya oldys itu menjulang mengerikan di hadapanku. Di belakang, kedua orangtuaku tengah berbincang sok akrab dengan seseorang yang semacam berkedudukan sebagai kepala sekolah disini. Aku akan kembali di “asramakan”. Begitu katanya, begitu kata mereka.
                Ada sebuah pikiran konyol yang menyelip keluar dari bingkai jendela besar di lantai tiga itu. Apakah aku bisa melayangkan diri untuk mempraktekkan teori “flying-dragon” yang pernah ku susun saat di SMA dulu ? Aku, memang butuh tempat semacam ini. Yang tinggi di atas itu. 25 meter, cukup.
                Teori putaran sentripetal, terbang, terbang ala naga. Terbang lewat tarikan tiga poros tambang yang disusun sedemikian rupa, sehingga masing-masing di antaranya membentuk sudut 60 derajat dari tumpuan. Aku hanya butuh busur kayu yang besar, tali tambang yang panjangnya minimal tiga kali lebar daun jendela itu, juga satu tali tambang lagi, yang super besar, yang dua kali jarak antar gedung. Merangkai semalaman, bergerak terbang di pagi hari.
                “Kapan saya mulai bisa tinggal disini ?” ujarku menyela bicara ketiga orang paruh baya itu.
                Ketiganya menatapku keheranan.
                Ayah membelai kepalaku sambil tersenyum sumringah, lalu menatap mataku dengan hangat, “Next week,” katanya.
                “It’s not a trial, no culpability, no crowd, no fatality. Standing, no binding.” Ujar ibuku ketus, memalingkan wajah tirusnnya, menyilangkan kedua tangan di depan.
                Aku mengangguk, lalu berkomat kamit asal ke arah ayah, meledek ibuku yang semacam nenek sihir. Kami tertawa kecil, paham kode ejekan tingkat tinggi itu. Lalu aku berharap minggu depan bangunan mengerikan ini tetap seperti ini. Sehingga malam nanti aku bisa mulai kembali bersiap, menyusun rencana untuk terbang, menjadi naga yang terbang.
--------
Kamar hotel yang kami sewa ini tidak begitu luas. Tidak ada sekat selain untuk kamar mandi. Ini bukan pertama kali kami sekeluarga berada dalam keadaan yang seperti ini. Tapi aku bersyukur malam ini aku bisa berbaring di sofa sambil ketiduran saat membaca buku tebal di larut malam. Aku suka jika aku harus tidur di sofa, merasa seakan aku berkorban begitu besar, menjadi pahlawan. Aku suka jika aku harus larut tertidur tanpa kusadari, merasa seakan aku seorang pemikir sungguhan. Padahal tidak. Padahal aku Cuma anak kecil yang berdoa, tidak ada satupun teman sekelasku yang tahu bahwa aku rata-rata tiga tahun lebih muda dari mereka. Tidak peduli mereka tahu lewat memperhatikan pertumbuhan postur tubuhku di masa depan, atau tahu lewat perubahan psikologis yang ku alami. Aku hanya ketakutan, rahasia ini tersebar dan jadi alat ampuh bagi para raksasa jahat dan truk, menginjakku maupun melindas cake coklat blueberry di jalan raya. Maka aku harus bisa terbang. Mulai minggu depan.
                “Aku suka tempatnya, tapi ini terlalu jauh. How could I be home ?” Tanyaku setengah berteriak
                “You not !” jawab ayah dan ibuku senada, juga setengah berteriak.
                Aku mendudukan diriku, memeluk punggung sofa, menghadap ke tempat tidur di belakangku, “Surely?” tanyaku dengan perasaan hina yang mendalam.
                Keduanya tersenyum seakan begitu bahagia, lalu kembali melanjutkan bacaannya, melanjutkan bicaranya di telepon genggam. Aku kecewa.
                “Mom, do you see my white book on this bag?”
                “Just found it on other way.”
                “It must be a high-price-book.”
                “High-value-book, Dad. I’ll be one of the most popular with that book.”
                “Dragon and fly theory?”
                “……”
                “You left it on your desk and said you going to ‘trashed’ it.”
“……”
--------
                Seluruh siswa disini dibebaskan berbusana apapun. Sehingga aku bebas menggunakan apapun, entah cadar, baju renang atau kostum ruang angkasa. Hari ini aku mengenakan kostum ruang angkasa. Kelas filologi yang membosankan, tidak ada sesi perkenalan. Orang-orang yang berbau tidak enak dan mereka tidak memiliki tambang seperti yang kubayangkan. Kami rupanya, setidaknya, sama-sama anak yang dibuang orangtua-orangtua kami. Tapi mungkin setidaknya aku lebih parah karena diminta untuk tidak pulang lewat senyuman ejekan ayah dan ibuku malam seminggu yang lalu.
                Dragon and fly theory masih jadi bab kesukaanku. Jauh dari omongan filologi yang tidak bisa kucerna lewat jalan biasa, di kelas berisi 21 orang ini. Rata-rata anak laki-laki di kelasku berkacamata, sementara semua anak perempuan bergaya berlebihan dengan make-up mereka. Paling sedihnya, tidak ada yang bisa ku ajak bicara disini. Karena aku memakai kostum ruang angkasa, sekedar karena itu saja, aku menjadi gadis aneh yang susah di ajak bicara. Mungkin begitu pikir mereka saat menatapku dengan sinis. Mungkin juga karena aku memakai helm luar angkasa. Ya, aku tidak peduli, mereka tidak tahu saja bahwa, kostum ini hadiah ulangtahunku yang keduabelas dan sangat berharga.
                Kamar asrama kami sudah lebih dari hotel dengan kamar mandi di dalam, sendirian. Ini bukan asrama, kupikir. Tapi plesiran. Minggu depan jika masih juga belum bisa terbang aku akan menelpon kedua orangtuaku, minta pulang. Tapi kalau sudah bisa terbang, aku bisa pergi ke mana saja, Negara lain misalnya. Ini sederhana. Sesederhana mencari gulungan tambang di gudang belakang gedung putih yang menjulang angkuh.
--------
                Entah bagaimana caranya, singkatnya, pagi tadi gulungan tambang yang ku impikan itu ada di depan pintu kamarku. Di pagi hari, tanpa selipan pesan apapun, bergelung rapi, terlihat seperti yang kuinginkan. Ku anggap ini hadiah dari para alien karena aku memakai kostum ruang angkasa kemarin.
                Malam ini aku akan beraksi. Tugasku yang pertama adalah mengukir sudut 60 derajat di tiga titik yang berjarak sama. Iya, itu rumusnya, seingatku saja. Entahlah. Hanya, bahwa, aku belum punya busur yang cukup besar untuk menjalankan misi yang satu ini.
                Asrama ini telah berbau angker seperti di malam-malam yang lainnya, yang sebelumnya. Tapi setidaknya mistar ringkih 30 senti berwarna putih yang ku temukan tanpa sengaja di kardus buku ini lumayan berguna, hitungan sudut itu bisa direkayasa lewat panjang yang sama, iya, benar itu kuncinya, hanya jadi segitiga yang menahan kaitan tambang dalam misi melepasku terbang.
--------
                Aku rupanya memang bukan seorang pencerita yang baik. Singkatnya aku telah berada di jendela besar itu di pukul empat subuh hari. Telah rapi melilitkan tambang di pinggang dan kedua kakiku sendiri. Aku memang benar bodoh waktu itu, mana bisa terbang dengan kaki terlilit tambang. Tapi kesadaran itu baru kudapatkan di pukul delapan pagi.
                Setelah berteriak sekuat tenaga, melakukan debuman keras ke tembok asrama dengan seluruh jiwa raga dengan posisi kaki terbuka ke atas, dan pinggang direkat simpul tambang besar yang menyakitkan. Ini ketinggian 10 meter.
                Intinya aku bisa saja mati, pada saat itu juga. Ah, tapi belum.
                Jika, tali itu lepas dari simpulnya.
                Jika, para guru terlambat menengok jendela.
                Jika, aku kurang teliti mengukur 60 derajat sudut tali-tali yang sama rata itu.
                Ah, aku gila bertahan. Melacak soal cara bertahan. Ilmu bertahan hidup dengan kegilaanku sendiri. Aku baru saja tersadar, memakai kostum luar angkasa di hari pertamamu di-asramakan, walaupun itu hadiah dari orangtuamu, bukanlah sebuah ide brilian. Naga terbang. Pohon berbicara. Alien.

                Haha. Ini ilmu bertahan.

Thursday, November 7, 2013

Refleksi Koneksitas Kelembagaan Negara dalam Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi


Pergeseran Kekuasaan Eksekutif yang ditulis pada tahun 1977 oleh Ismail Suny telah membuka sebuah pandangan baru mengenai unsur-unsur kefungsian eksekutif yang menguat sepanjang pemerintahan Soeharto. Tokoh Presiden yang memegang kuasa terhadap seluruh derivasi mekanis penyelenggaraan Negara tersebut secara radict banyak menelurkan perundang-undangan yang tidak hanya berbasis pada keterbutuhan eksekutorial namun juga pembentukan norma-norma taktis baru yang tidak pernah dilahirkan oleh DPR RI maupun MPR RI sebagai tonggak fungsi legislative nasional dan dwi manunggal.
     Selanjutnya Pergeseran Fungsi Legislasi yang ditulis Saldi Isra pada tahun 2010 kembali mengemukakan suatu persimpangan dalam fungsi-fungsi kelembagaan Negara yang berada dalam puncak konsepsional. Badan legislatif yakni DPRD RI mengalami suatu blokade tertentu akibat kewenangan presiden dalam rangka merekomendasikan dan mengesahkan suatu produk perundang-undangan. Sehingga renovasi fungsi legislasi dalam sistem pemerintahan Indonesia haruslah bertumpu pada purifikasi sistem presidensial[1].
        Kini dilematika ketatanegaraan rupanya berjalan searah rumitansi yang menumpuk dimana pertalian konkret antara kotom lembaga bodies dan auxalary serba tumpang tindih. Serta entry classif derivasi lembaga konstitutif dan konstitusional juga tidak menemui jalan tengahnya. Koherensi sistem presidensial sebagai pilihan mainstream akademis tidak terinternalisasi dalam perjalanan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi sebagai triadic function NKRI. Hingga saat ini belum ditemukan naskah riset yang merancang format sinergitas sistem presidensial dalam konteks dyad function dengan Mahkamah Konstitusi sebagai representasi triadic function dengan pendekatan positivis – constituendum, menemukan konteks untuk merancang konteks selanjutnya.
Martin Shapiro dalam bukunya Courts mengatakan bahwa kompleksitas yang timbul pada masyarakat modern menghendaki pihak ketiga untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Menurutnya metode penyelesaian sengketa secara triadik ini didasari oleh norma (Konstitusi) yang berfungsi sebagai landasan bersama guna mencari solusi atas persoalan yang dihadapi.[2] Sehingga dalam sistematika kelembagaan Negara konstitusional setidaknya kita mengenal percabangan fungsi strategis di luar eksekutif dan legislative yang diwakili oleh judikasi konstitusi.
        Dengan demikian merujuk pada konsep Negara kesatuan, daulat pemerintahan berikut kelembagaan-kelembagaan turunannya haruslah sejalan dengan paham integrasi dan harmonisasi. Rigitasi lanjutan dalam konteks NKRI, kita dapati bahwa lembaga utama driad system saat ini yakni Presiden dan DPR RI berjalan dalam kerangka system presidensial baik dalam kecendrungan kesejarahan maupun progresifitas purifikasinya. Presidensial menjadi sebuah nalar pangkal dari rangkaian hubungan dan komunikasi mutual antar lembaga Negara. Lalu bagaimanakah ia dapat diterapkan dalam percabangan triadic fungsi judikasi konstitusi?
Mainstream hukum telah menempatkan konsistensi supremasi dalam berbagai alur dan mekanisme, baik secara pandangan doktrinasi maupun tataran legal-konstitutif. Contoh paling populer mengenai konsistensi supremasi hukum dalam pandangan doktrinasi adalah rumus piramida Hans Kelsen dan Hans Naviasky. Yang pada intinya menganggap bahwa suatu norma hukum menempati pos-pos tingkat tertentu yang menentukan klasifikasi tinggi dan rendahnya ruang lingkup dan substansi. Selanjutnya konsistensi supremasi hukum dalam tataran legal-konstitutif dapat di ambil dari logika kelembagaan konstitusional RI, yakni setidaknya suatu lembaga bersifat instruktif terhadap lembaga di bawahnya. Hal ini pula berlaku dalam semua tataran jaringan fungsi Negara termasuk lembaga peradilan yakni Mahkamah Agung. Mahkamah Agung Republik Indonesia yang saat ini menjadi muara dalam hierarki peradilan NKRI pula memiliki satu wewenang kasasi dalam memutus akhir suatu perkara di luar konstitusionalitas.
Dalam pada itu, penyelesaian amandemen UUD N RI 1945 pada rapat paripurna MPR RI tahun 2002, Mahkamah Konstitusi lahir sebagai bagian percitaan yang menemui tangga realitanya. Dimulai pada tahun 2004 mengenai UU Komisi Yudisial para hakim Konstitusi memutuskan untuk menyatakan sebagian ketentuannya batal demi hukum. Maka sederetan putusan kontroversial menemui jaring konklusinya di putusan hakim Mahkamah Konstitusi.
Secara konseptual gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[3] Mahkamah konstitusi dalam konstelasi kelahirannya telah memberikan satu refleksi konkret format konstitusionalitas Juan Linz bahwa supremasi keadilan konstitusional haruslah menjangkau setiap warga Negara, rakyat dan pemerintah. Namun dalam tataran perhubungan fungsi-fungsi konstitutif kelembagaan Negara, Mahkamah Konstitusi wajib kembali dibenahi. Masalah yang menjadi great line adalah bagaimana koherensi internal adjudikasi nasional antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta koherensi eksternal yang berkenaan dengan perhubungan eksekutif dan legislatif dengan Mahkamah Konstitusi dalam bingkai sistem presidensial.
                Seluruh koneksitas mutual yang terjadi dalam tataran kelembagaan nasional tersebut tentunya tidak akan pernah menemui establishment-nya sebelum daulat konstitusional dimaknai kembali sebagai koherensi factual terhadap keberadaan rakyat dan pemerintahnya. Jimly Ashsiddhiqie dalam tulisannya yang disampaikan dalam beberapa seminar hukum nasional menyampaikan bahwa Budaya Sadar Berkonstitusi utamanya menjadi titik tolak strategis dalam kehidupan berbangsa yang beradab. Yakni dimana setiap warga Negara memiliki pemahaman konkret dan actual mengenai keberadaan dirinya. Budaya.


[1] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatnya Model Legislasi Parlementer…, hal 22
[2] Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi : Suatu Studi tentang adjudikasi konstitusional…, hal 46
[3] Ibid, hal 263.

Thursday, October 24, 2013

Insomnia (Part One)

Apakah kamu pernah, suatu ketika, berlindung di balik lemari ruang tamu rumahmu? Suatu hari, menyelinap masuk ke kolong tempat tidurmu? Atau menyembunyikan diri di balik tirai di sisian jendela kaca?

Aku pernah, aku pernah. Berlindung di balik lemari, menyelinap ke kolong tempat tidur, juga bersembunyi di balik tirai. Aku pernah, ya, aku pernah. Kalau kau benar pernah juga melakukannya, kau pasti tahu maksudku, bukan? Iya, kan? Kita tentu pernah sama jadi anak kecil. Kita tentu pernah sama-sama jadi si kecil yang tak mengenal banyak hal. Ya, kita tentu pernah jadi si kecil yang tidak mengenal banyak hal, banyak orang dan melihat segala sesuatunya sebagai yang "lebih besar". Ini fantasiku saja. Tapi, benar, kan?

Semua orang tahu, berlindung, menyelinap dan bersembunyi hanyalah hal yang dilakukan seorang anak kecil. Ya, semua tingkah bodoh yang memalukan dan mengundang kehinaan itu, utamanya hanya dilakukan seorang anak kecil saja. Hebatnya, di dunia kita ini, klausul ke-anakkecilan-an itu juga yang akan menyembuhkan segala kehinaan itu lewat tawa orang dewasa yang penuh kemakluman. Singkatnya, kau bisa saja melakukan hal bodoh, jika ada kemakluman orang sekitarmu. Contohnya, karena kau anak kecil.

Perkenalkan, namaku Voleta Zora. Aku bukan lagi anak kecil yang menyelinap untuk bersembunyi.

--------

Tiba-tiba lukisan jingga di luasnya biru pagi kembali menggila, membuatku tambah gila. Katanya, ia lukisan pinggiran, salah tempo, salah takaran. Memaksa biru membersamainya. Jingga itu, sama. Persis, seperti aku.

Sementara itu, denting piano yang bermain di lantai bawah, seperti biasa, tidak mengagetkanku lagi. Hanya, bahwa, ia selalu berhasil membuatku terjaga, ketakutan. Ya, aku memang baru saja terbangun dari tidur yang sekejap. Tidak biasa tidur malam. Besok-besok kalau sudah bisa punya rumah sendiri, aku tidak akan membiarkan seorang pun menganggu tidurku, dengan nada halus sekalipun.

Aku cuma anak SMA kelas 12. Dan ini adalah liburan kelulusanku. Aku pengangguran. Haha, begitu ku dengar orang-orang menyebutnya.

Ini pukul 3 pagi dan aku harus menuruni tangga untuk mengatakan kalimat basi, "Hey Mom, Hey Dad."

Sepuluh tahun terakhir ini, ibuku gandrung bermain piano. Sementara di sebelahnya, ayahku sekedar menemani, tidak habis-habis memakan semangkok besar koktail kesukaannya. Katanya buah-buahan sangat baik untuk kecerdasan, ah aku tidak tertarik. Keduanya asing di mataku. Kami tak memiliki kemiripan.

Sekedar bahwa, mereka orang metropolitan, bicara sok Inggris dan merasa punya intelegensia tinggi. Sekedar bahwa, mereka tidak bisa tidak melewatkan satu haripun tanpa membaca buku. Bahwa mereka berumur 38 dan 40 tahun, berasa muda, mapan dan angkuh. Aku tidak suka orangtuaku. Mereka mungkin juga sudah lama tidak suka aku. Sepertinya.

"Tidur jam dua lagi? Satu jam?" tanya ayah datar. Di telingaku, nadanya bahkan jadi tanpa tanda tanya. Bahkan lebih dekat ke arah pemastian yang ketus, semacam selurusan nada, "Pasti, kan.".

Aku hanya mengangguk, berlalu. Berjalan selayaknya zombie lalu loncat di anak tangga terakhir, lurus masuk ke ruang makan. Membuka lemari es dan menuang segelas air mineral super dingin. Duduk dan minum, memaknai bahwa, dini hariku adalah dini hari yang begitu dingin, kedinginan.

Denting itu lalu terhenti, "Setelah ini kamu harus kembali di asramakan lagi.", kata Si empunya dengan penekanan khas dirinya. "Kamu-harus-kembali" adalah untaian frase yang begitu gila, hanya milik orang-orang tajam dan angkuh semacam dirinya.

"Asrama macam apa?" tanyaku, lebih tanpa tanda tanya.

"Bisa asrama agama, militer atau apa saja yang sejenisnya. Kebiasaan insomnia seperti itu harus segera dihilangkan, bukan? Mana mungkin seorang anak 14 tahun hidup dengan pola seperti itu."

"Gila." lepas mengatakannya, aku cuma bisa terlanjur tersenyum meremehkan, menggelengkan kepala lalu kembali berjalan gaya zombie ke kamarku lagi. "Mana beethovennya? Suara sumbang." ujarku sengaja menunjukkan ketidakhormatan, di langkah anak tangga pertengahan.

--------

Subuh di Jakarta selalu jadi semilir dingin yang sekejap saja, tidak pernah lama. Aku suka rasa-rasa yang seperti itu. Bahwa membiarkan diri berada dalam sensasi sejuk di kulitmu adalah sesuatu yang selalu menyenangkan, seperti, seakan terangkat ke udara. Aku tidak terlalu suka kota ini, sebenarnya. Aku terlanjur telah banyak disetting; dengan setumpukan kebohongan atas diriku, tanpa aku mengerti.

Sholat di sepanjang keterjagaan karena ketakutan tidak pernah tidak tepat. Dengan demikian aku merasa bahwa ada kekuatan yang tidak terelakkan, untuk selalu dijadikan sandaran. Tanpa kedua orangtua yang menyebalkan juga tanpa ingat bahwa kau begitu kecil. Sebegitunya, sampai segala sesuatunya tampak lebih besar dari diriku, mengerikan, lalu sewaktu-waktu melindasku tanpa ampun, semacam kisah truk kuning dan cake ulangtahun. Bicaraku jadi kacau balau.

Friday, October 18, 2013

Semoga bertambah hikmah atasmu, sahabat yang (baru) kutemui :)

Ya, Allah aku besyukur karena beliau adalah orang yang cerdas dan kuat pendirian. Bahwa ia juga, orang peka dan standby menangkap kejadian-kejadian. Juga, ia begitu dicintai sekian ribu orang yang membersamainya.
Ya, Allah, semoga berlimpah ridhoMu untuk kerja-kerja kami di jalanMu. :)

Lor Ah Soo

Aku semakin yakin bahwa Lor Ah memang bukan padanan kata yang tepat untukmu. Kemarin lalu waktu aku temui, kau terlihat begitu baru, lesu. Berdesah malu-malu.

Sunday, October 13, 2013

Gejala Anonim FH UB : Menyebarkan Fitnah dan Kesalahpahaman, Hindarilah.

Bismillah

Saya tuliskan ini dengan suatu perasaan yang meringis. Entah karena lemahnya ia, atau panah-panah yang mengenainya. Saya masih ingin bicara dengan cinta yang sederhana. Bahasa yang semoga saja mudah dibaca.
Oleh karena hati yang syahdu, ingin lagi bersaudara, bukan karena sesiapa atau berasal darimana.
Oleh karena hati yang sendiri, ingin lagi bergenggaman, menguatkan, bukan karena diberi apa atau mau pergi kemana. Siapa saja.

Saya sadari bahwa, hidup ini begitu singkatnya. Tidak ada waktu untuk bercanda, sebenarnya, sebab canda itu sudah klausul matematisnya duniawi, dunia kita sekarang ini. Canda-canda jalanan ibukota Jakarta, di kerlip malam inipun, sama saja. Bikin menggigil sekujuran tubuh saya, bikin biru bibir yang coba terbasahi kalimat-kalimat doa, sekuat tenaga.
Agar perasaanku yang tiba-tiba meringis ini terobati, agar terdengar dengan seksama, bahwa aku tak mengambil jeruji-jeruji untuk bohong padamu, atau pada diriku.

Saya tidak ingin membela sebarisan kata yang tak pantas dibela, sebarisan kata yang bukan pula buatan saya, buatan orang-orang di UMM waktu kongres dulu, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.
Bukan, bukan frase ini yang akan saya bela. Saya telah meninggalkannya, sesegera setelah saya mendapatkan yang lebih darinya. Ketenangan hati, kekuatan, alasan yang nyata, gairah berkarya.

Iya, ini hanya tentang budaya yang menggejala dan menyakiti yang lainnya. Soal mereka yang bilang membela suatu idea, tapi, maaf, dalam pandangan saya, justru mengotorinya. Pro Justicia tidak dibela dengan fitnah, Pro Justicia hidup dengan baris-baris yang sistematis, gamblang, dan tentunya, tidak anonim. :)

Saya, jujur saja, tidak biasa berkata yang dilembut-lembutkan. Saya orang yang keras, keras dalam mengambil pilihan, biasanya, keras juga dalam mengambil diksi-diksi. Karena kehidupan bagi saya telah mengajarkan banyak keteguhan. Di tengah sini, saya mohon maaf atas kata-kata yang mungkin menyakiti hati. Saya hanya yakin bahwa cinta adalah konsep bicara apa adanya. Maka, ya, beginilah. :)

Jika kita cinta Fakultas Hukum, marilah sama berkarya lewat namanya. Bawa ia kemana-mana, bersama-sama. Jangan pandang benci yang sedikit 'berbeda'. Ayo berkenalan.
Jika kita benar segitunya membela Pro Justicia, marilah sama adil pada nurani. Jelajahi hati sampai ke sisi-sisinya. Kalau merasa ada masalah, buka bicara pada semua, audi et alterram partem, jika tidak, tidak bicara tentang yang tidak diketahuinya. Ini jiwa hukum bukan?
Jika benar, dari hati dan kesadaran terdalam, nyata-nyata berkata, Hukum Bersatu Tak Bisa Dikalahkan, marilah sama-sama saja membuka senyuman, jangan hanya lewat di bibir saja. Pembuktian.
Saya sekedar merasa perlu menyitir keadaan miris, menjalankan sebuah proyek sederhana di DSM, ada pihak yang merasa sudah sungguh-sungguh? Ada yang sudah merasa sangat penuh integritas?  Yang mana yang @FHBrawijaya? Mana bukti?

Gejala dan praktek perkambinghitaman memang selalu marak setiap kita akan mengakhiri semester ganjil.
Menyesakkan sekali mengetahui bahwa, masih begini gaya-gaya "cari perhatian publik" di kampus kita. Masih pecundang seperti ini, main belakang, pseudonim, semi, yo tetep anonim !

Jangan, jangan sampai karena dengkimu, menyakiti yang kau katakan "Hukum Bersatu tak Bisa Dikalahkan" bukan?

Saya tidak ingin main drama, ini bukan drama-drama-an. Bukan picisan.

Ayo, duduk bicara dan atur kepahaman, agar lega hatiku dan hati kita semua.
Saya kembali katakan, anak KAMMI tak sebanyak hegemoni kader HMI atau anggota PMP hukum Brawijaya. Jadi jangan takut kami 'menguasasi' dan membelakangi almamater kita. KAMMI tak pernah sebegitu nafsu untuk cari tahta dunia. Ini soal perimbangan, keadilan bagi setiap kebijaksanaan. Kebijaksanaan kami, Islam yang rahamatan lil 'alamin, insyaAllah. Yang dengan inilah orang-orang KAMMI ketika memimpin, yang dengan inilah mereka dibekali, habis itu lepas, tak boleh gila nama dan label.

Tapi sakit juga ketika disalahpahami, pula disebar-sebarkan kesalahpahaman tentang kami ke banyak orang, hingga jadi fitnah yang menghitamkan apa yang putih, memunculkan prasangka tanpa bukti, juga kilas pemahaman tanpa tanya-jawab yang berakal. Innalillahi.

Saya hanya pernah tiga kali mengajak orang masuk KAMMI, 2 ditolak, satunya berangkat. Oleh karena kami sadari, tak banyak orang yang akan membersamai kami di jalan ini. Sebab bukan nama yang kami bela, bukan organisasi belaka, tapi kepahaman, kemunculan tunas-tunas harapan bangsa. Yang dekat dengan Tuhannya, juga pandai mengaji, sadar jiwa dan fitrahnya, sekedarnya, sekedar itu saja.

Ya Allah, faghfirlanaa, innaka anta samii'ud du'aa.

Monday, September 30, 2013

Licik

Mungkin kelicikan sesuatu yang built-in dengan diri saya. Haha, saya begitu tanpa hati, kejam, semacam itu. Bagaimana bisa bersemayam dua kekhusyukan dalam satu hati? Bagaimana bisa bertemu dua aliran dalam satu bayangan? Bagaimana bisa berpikir sentrifugal, menarik luaran, gaya-gaya sampingan. Ah, ini rumit.

Kelicikan mungkin memang sesuatu yang semacam itu. saat saya ikrarkan dua kekhusyukan dalam satu hati, atau dua kepahaman dengan arogansi strata, juga reposisi luaran dari beberapa organ fikroh yang terdalam. Karena hikmah dalam ayat-ayat kauniyahNya begitu luas membentang.

Saya tidak berani, selebihnya, sebenarnya. Benar bilang pada saat itu, maaf, saya lebih bisa jadi jundi yang tho'at daripada teman sebaya yang komunikatif. Maaf, saya lebih bisa, jadi qaadah yang penuh strategi daripada sebaya yang begitu penyayang. Sebab menerobos itu lebih sederhana daripada meloncati tebing-tebing. Tebing perasaanmu, shohabati. Sebab keras itu lebih mudah dari menjaga nada bicara, bagiku, shohabati.

Aku balik lagi jadi mangsa raja-raja yang gila. Sebentar-sebentar menenggelamkan. Sebentar-sebentar merengek minta makan. Lapar katanya, mau ditinggal kasihan, dikasihani, jadi peninggalan.

Kelicikan itu ibarat tenun jerami. Ibarat konfigurasi. Ibarat aku meninggalkanmu kala sendiri.

Friday, September 20, 2013

Real Steel (not-a-real-REVIEW-at-all :)

Bismillah

Wew, agak canggung sebenernya nulis di blog kali ini. Oke kita bawa asik aja, yak, haha, soalnya kata beberapa orang terdekat, gue jarang asikin hidup. Hmm... ga juga sih :p

Tulisan ini gue rencanakan untuk mengulas salahsatu film favorit gue. Real Steel. :)
Hihi, jarang banget loh, jujur, gue nulis sebuah review. Jadi ini insyaAllah emang, yaa... jarang.. hhaha, jarang banget. Udah. Gitu aja. #geje

Oke, Real Steel tuh film Disney keluaran 2011 dan pertama kali dilaunching di Australia tanggal 6 Oktober 2011, yang ngambil Atlanta dan tahun 2020 sebagai latar utamanya. Intinya, di zaman itu, udah ga ada manusia yang jadi petinju. Semua kejuaraan tinju diambil alih sama robot. Main actor, Hugh Jackman (as Charlie Kenton) sebagai seorang mantan petinju juga terus ngikut kehidupan pertinjuan robot itu, dengan robot andalannya, Ambush.

Singkat cerita, sebenernnya yang sangat menarik dan bikin gue suka banget sama plot film ini bukan tentang Charlie-nya. Tapi soal keberadaan main actor lainnya, Dakota Goyo, yang meranin tokoh anaknya Charlie, Max Kenton. Imut banget anaknya, udah gitu, emang di film ini, Goyo look smart abis dan punya strong character yang cool banerr.

The real line story is.... Charlie dan Max sebagai ayah-anak baru bertemu setelah umur Max 11 tahun. Setelah Caroline Fallon, ibunya Max, mantan istrinya Charlie wafat. Gue agak males sebenernya nyeritain bagian ini, abis rempong banget, haha. Next is, Max menurut pengadilan, jadi wajib asuh bibi (adik almh ibunya) dan pamannya, Debra dan Marvin, tapi dengan tipudaya ayahnya, Marvin yang kaya itu membeli jasa asuh Charlie untuk sekian minggu selama ia dan Debra ke Italia. Singkatnya, Max akhirnya harus ikut ayahnya - yang udah dapet bayaran US$ 5000 dari Marvin - yang cuma seorang petinju Robot kelas bawah plus lagi bangkrut karena Ambush kalah waktu lawan banteng.

Haha, sori ya, kalau kalian yang lagi baca ini jadi gagal paham. Penulis memang agak some disturbing system gitu ya, untuk membahasakan kisah dengan lebih lunak lagi. Heehee.. #keeptryin

Kita pake perspek puzzling aja ngobrolnya yak, hhoo, jadi gue nggak akan ngulang nyeritain plotnya disini, ehm, gue bakal cerita aja bagian-bagian yang recommended to see. :D

Gue terharu banget sama setting Max dan Charlie lagi di pabrik robot buat nyuri bagian2 robot rakitan, setelah robot terbaru mereka yang dibeli seharga US$ 5000 - namanya Noisy Boy - ancur pas ngelawan Midas. Saat itu mereka udah nggak punya uang lagi, so emang udah nggak punya modal buat melanjutkan hidup lewat ngerobot. #apasih hhaaha

Intinya, gitu sih, Adegan menegangkan banget waktu Max jatoh ke tebing dan nyangkut di sebuah tangan robot generasi kedua (generasi lama, ceritanya). Hmm... berasa banget conditioning latar ayah-anaknya, tambah tampang takut-takutnya Dakota Goyo yang khas anak kecil banget waktu dicommand ngereaching tanga ayahnya tanpa try to see the under, gue... suka banget bagian ini, hehee..

Yang paling seru, di plot selanjutnya, strong characternnya Goyo nampil banget pas dia semacam silang pendapat sama ayahnya dan bersikeras ngangkut "tangan robot dan keseluruhanya" yang dianggepnya udah nolongin dia supaya ga jatuh. haha.. Ada banget dialog tajam yang bikin ketawa,

Max : Charlie, I thought there was a robot here,, (setelah lakon mata bulat terpana pas ngeliat baju robot di bawah tanah)
Charlie : So what? Lets Go, Come on, I was said it dangerous before !
Max : I'm take it with me. He save my life.
Charlie : He did not ! I-save-your-life. Lets Go !

Haha, dialog dua orang keras kepala. Bukannya manyun dan ikut gandengan ayahnya yang udah kayak tanpa hati ninggalin, Goyo (Max) malah "ngatur" Charlie (Jackman) untuk ninggalin troly mereka aja, supaya dia bisa bawa pulang tuh kerangka robot yang dianggapnya udah nolongin hidupnya. Sumpah, adaaa apa ya anak sekeras itu kemauannya *dlmhalpandangan* jaman sekarang, ah, gue belom pernah nemu. Kebanyakan anak-anak jaman sekarang mah pada cengeng, demennya nonton senetron maennya di sekolah "pacar-pacaran" maka terlahirlah generasi genit yang mengerikan kayak senior2 gue di kampus #ups. Rusak, dah, rusak, *lohkokjadikesini* :D

Dan... ternyata robot "sampahan" itu yang jadi keberuntungan plot mereka selanjutnya. Nama robotnya, Atom. Si atom ini ternyata tipe robot sparing yang auxalary di zaman robot tinju generasi kedua (gatau ya maksudnya di sutradara itu settingnya udah zama robot generasi keberapa ahaha).

Karena Atom ternyata punya kemampuan hear-and-echoes hmm... sederhananya, copas... hihi, maklum. Jadi dia bisa ngikutin gerakan objek yang di depannya, yang kena radar sensor kerobotannya gitu kali ya, #ngarang ahaha, ga ngerti gue sistem kayak gitu gimana logikanya yak, elo ngerti? ga juga kan yeyeyee :D

Oke, puzzle part kedua, adegan waktu Max jadi "orang pinggiran" waktu iring-iringan 'Zeus' keluar WRB (World Robot Boxing). Lakon mata bulatnya Max yang tersepona keluar lagi, tapi lebih shiny gitu, lebih condong ke karakter "pengamat yang cerdas dan terkagum". Lucu banget bagian Max bilang, "Sweet..." pake tendens amrik yang all-out.

Oia, sampe lupa, :) Zeus itu robot yang lagi "dewa" banget saat itu, dan semua acting max tadi dilakukan pas momen tim robotic Zeus, si Farra Lemkova dan Tak Mashido diwawancarai kerumunan pers.

Ada juga part sedihnya, loh, waktu Atom lagi menghasilkan banyak uang, Max and his daddy, didatangin musuh lama the daddy. Hm, dipukulin lah the daddy and his Son crying beside him. Hoho... Ada plot dimana di dalam van, Charlie kayak merenung gitu sambil ngeliatin Max tidur. And guess what next ?

Ya ! Charlie khawatir sama keselamatan Max. And the next he sent his son to the nanny, Debra and Marvin. :'(

Dialog yang kerennya, waktu Max ngambek setelah tau dia dibalikin ke bibinya,

Charlie : Okay, fine, What'd you want from me?!
Max : I just want you fight for me. That's all I want to.

Hiks.

Ada dua hal yang parah abis, gue suka banget, waktu Max bikin deal sama orang-orang termasuk ayahnya sendiri. Ahahahaa... sumpah, smart child banget. Dan waktu dia bilang "your secret was save with me." ke ayahnya di ending film ini.

Huaaaaaaaaaaa.... I love this film so much, :)

Gue emang gak berencana nyeritain film ini all in and out kok, hihiii... buat yang penasarann, nonton aja sendiri yak, hehehe... Atau karena sanking ga gaulnya gue, udah pada nonton semua lagi, ya, hehe... Soalnya keseringannya gitu sih, ya, ---____________--- gue ga update. Maklum deh yak,

But, thats all I've to write, cuma buat ngasah kepekaan hati aja, sih, gue bisa kok, kagum sama karya orang. InsyaAllah, karena ayat-ayat kauniyahNya begitu luas membentang.

Friday, September 13, 2013

Rasa-rasanya

Rasa-rasanya, banyak hal yang belum tersampaikan. Semacam presisi dan model indikatorisasi. Berapa, sebanyak apa. Berapa, sebesar apa, secerah apa, atau mungkin, sedusta apa.

Rasa-rasanya kita harus lebih banyak merasakan, yang bukan presisi, tidak seperti yang hampir setiap saat saya lakukan. Sesekali kita harus mencoba bertarung dengan kepekaan. Bashiroh hati. Kekuatan mata hati.

Rasa-rasanya saya harus lebih banyak merasakan.

Saturday, September 7, 2013

Saya tidak suka

Saya tidak suka banyak hal
Juga kenyataan bahwa saya tidak menyukai banyak hal

Saya tidak suka banyak diatur
Juga kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan aturan

Oleh sebabnya saya berpikir untuk segera meninggalkan ketidaksukaan
Karena perlahan ia jadi mangsa raja-raja yang gila
Sebentar-sebentar menenggelamkan
Sebentar-sebentar merengek minta makan
Lapar katanya, mau ditinggal kasihan, dikasihani, jadi peninggalan

Saya tidak suka pementasan
Juga epilog yang lebay tanpa prolog yang mencerahkan

Bagi saya, lebih-lebih orang harus dibina dari awalan
Biar kuat karena kepahaman

Saya tidak suka gurauan bohong
Juga kenyataan bahwa semua kebohongan dan gurauan itu inti dunia

Makanya saya bersegera meninggalkan mereka
Karena perlahan mereka jadi resonansi faktual garis kebolehan
Sebentar-sebentar menyentak
Sebentar-sebentar ngambek sama diri sendiri
Gak suka katanya, ya gak suka aja, halal, ga ada urusan lagi ini

Kocak gitu
Saya tidak suka kocak sebegitunya

Itu kan, saya

Monday, September 2, 2013

Be a commander

This is my world. The dynamics.
This is the word I call to repose the things on me.

He said, I'm so Lucky because I know how to use some word describing I feel.
She said, I'm not that lucky because my line was on opposite.
They all a true

How could to be better?
How to be strong, tough, like a real qaadah?

How could to be dashing?
How could I be pronounce?
Not really on those assertive
but, a commander

Thursday, August 29, 2013

Al Banaat : Part One (Bisystory)

Ruang kelas 1B tiba-tiba jadi arena ketegangan. 35 anak umur 11 tahun itu jadi semacam pusaran manusia berseragam putih-hitam. Di tengah pusaran itu, sepasang bocah laki-laki dan perempuan tengah berhadapan dengan serius, menjadi sumber ketegangan di kelas itu. Ilham, nama bocah laki-laki itu, dengan emosi menantang, "Oke, kita adu panco aja kalo gitu !"
Si bocah perempuan bergidik, bukan karena ia takut adu fisik, ia tidak benar-benar tahu jenis permainan itu. Diputarnya bolak-balik akalnya, "panco"…. Bagian tubuh yang mana yang disebut panco dan bisa diadu? Apa Cuma anak laki-laki yang punya 'panco'? Sehingga Ilham yang dilihatnya sekarang sedang tertawa sinis karena sudah membayangkan kemenangan.
"Oke! Siapa takut!" serunya keras kepala
33 penonton setia itu sejengkal mundur memberi ruang, seorang bocah berbadan paling besar di antara mereka, Fitra, mendorong sebuah meja belajar ke tengah. Ilham  makin percaya, anak perempuan seperti Bibis, tidak mungkin bisa menang adu panco dengannya. Walaupun Bibis tidak tergolong kurus juga tidak lemah di kelas olahraga, tapi mana mungkin ia yang jago bulutangkis, bisa kalah? Ilham menyeringai, membayangkan kemenangan, kepahlawanan dirinya dan kepengecutan Bibis.
Bibis, anak perempuan dengan pipi merona panas itu, semakin bingung, permainan macam apa yang telah disetujuinya secara bodoh untuk menjadi babak kesekian yang dilaluinya untuk menarik pembuktian 'siapa yang terbaik antara Ilham dan Bibis' yang selanjutnya melebar menjadi 'siapa yang terbaik antara anak perempuan dan anak laki-laki' di kelas itu.
Ilham telah mengambil posisinya, meletakkan siku tangan kanannya di atas meja dan jemarinya bersiap mencengkram sekuat tenaga telapak Bibis yang dilihatnya relatif lebih ringkih darinya.
Akhirnya Bibis selesai dari kebingungannya soal 'adu panco', tersadar dan langsung berjalan dengan gaya percaya diri, mengangkat wajahnya dan menantang Ilham dengan memunculkan wajah menyebalkan, tersenyum asimetris, seakan ia akan menang.
Ia tercenung tiba-tiba di depan meja, di tengah riuh rendah suara teman-temannya yang menyemangati.
"Ini ga syar'i." katanya. Ilham membangun dirinya dari posisi siap siaga, berdiri.
"Hm," gumam Ilham menyetujui, suasana kelas berubah sunyi.
Beberapa anak berjalan ke tas dan meja mereka untuk mengambil buku pelajaran hadist shohih.  Faradina, seorang sahabat mereka di kelas itu, langsung membacakan sanad hadist yang dimaksud Bibis, "La Ayyuth 'ana fii ro'si ahadikum bi mikhyathi min hadiid khoirullahuu…"
"Min ayyamussa m roatal laa tahhilulahu…" lanjut Bibis mengandalkan hafalannya dengan percaya diri walaupun mengandung kesalahan lafal.
"Sekiranya kepala salah seorang di antara kamu ditusuk dengan senjata tajam, lebih baik dari memegang wanita yang bukan mahramnya. Riwayat Thabrani dan Baihaqi" perjelas Ilham.
35 anak itu tiba-tiba lemas. Padahal mereka sangat ingin menyaksikan pertandingan itu.
"10 menit lagi jam main kita selesai, mending selesain tugas matematika aja, kali ya, shohabati" ujar Ahmad, ketua kelas mereka.
Setengah dari mereka mengangguk menyetujui. Bibis menggigit bibir bawahnya menyesal, hadist yang tadi kan bisa disampaikan belakangan, setelah pertandingan mereka selesai, pikirnya. Sementara Ilham memegang meja yang di tengah ruangan, berniat mengembalikannya ke posisi semula, meja itu milik Ghina yang tengah menunggu kelas kembali pulih dari kekacauan. Sama seperti yang lain. Anak-anak kelas 1B SMP IT Qalbin Saliim tengah membenahi meja warna-warni mereka dan mulai menarik kursi yang menempel di langit meja sebelah bawahnya, bersiap mengerjakan tugas matematika seperti taujihat Sang ketua kelas.
"Kita cari pertandingan syar'I besok, malam ini kita sama-sama pikirkan dan besok segalanya berakhir, oke, ar rijalu qowam 'alan nisa !" seru Ilham serius
Bibis mendengus kesal, jiwanya menolak mendengar kalimat Ilham.
"Emang bibis itu imro'at ya?" kata Faqih, anak laki-laki berambut keriting itu santai di tengah kesibukannya membantu teman-temannya membenahi susunan meja mereka.
"Iya, kita kan masih anak kecil, tau, belum baligh. Al Banaat, tadi sanadnya kan pakenya imro'at" sambut Faradina menengok ke arah Faqih, bersemangat.
35 anak itu kembali dipersatukan dengan satu fokus pikir, peperangan Ilham dan Bibis, yang kini keduanya sontak saling berpandangan, mengumandangkan genderang perang untuk kesekian kalinya. Keduanya kembali melangkah ke tengah ruangan, Ilham kembali menarik meja Ghina yang di barisan kedua deret ketiga ke tengah ruangan.
"Beneran?" tanya Ahmad yang mulai kembali tersita perhatiannya.
"Hontou, hontou" jawab Bibis asal, mengikut kebiasaan Ummi di rumah
"Surely !" sahut Ilham serius.
Maka Ahmad beranjak berdiri, meninggalkan buku matematikanya yang sudah tersibak, berjalan ke tengah ruangan, diikuti seluruh teman-temannya yang kini kembali membentuk pusaran bocah berseragam hitam-putih. Ilham dan Bibis sudah saling berhadapan di tengah ruangan, saling mencengkram, siap melangsungkan pertandingan.
"Oke, a… ba… ta !" aba-aba Ahmad seketika disambut sorak-sorai yang saling bersahutan dengan semangat.
"Bibis… Bibis… Bibis…" anak-anak perempuan berteriak nyaring
"Ilham… Ilham… Ilham…" anak-anak laki-laki tidak mau kalah
Ilham masih terus mencengkram tangan Bibis tanpa ampun, disana letak strateginya, membuat lawannya habis tenaga sehingga pertahanannya mudah diruntuhkan. Bibis yang sejak aba-aba Ahmad tadi telah mengukur kekuatan Ilham, rupanya memang tidak mudah dikalahkan, ia mengambil strategi meletakkan kekuatannya di batang lengan. Sehingga pertandingan itu menjadi begitu seru, berkali-kali Ilham hampir menjatuhkan lengan Bibis ke meja, tapi itu belum berhasil selama tiga menit ini, sementara Bibis baru dua kali hampir menjatuhkan Ilham dengan tenaga-tenaga sisa.
"Bibisssssss !!!! Bibis… Bibis… Bibis…!" lengkingan itu semakin keras searah dengan lengan Bibis yang mendominasi Ilham, anak laki-laki di kelas itu jadi terdiam, berdoa dalam hati agar rekan mereka bisa bangkit dari keterdesakan.
Pada menit keempat di saat para penonton mulai lelah bersorak dan bulir keringat jatuh dari kedua wajah yang memerah, Bibis yang sejak tadi diam akhirnya mengerang keras, "Ish !".
"Yeah !" seru Ilham. Menang. Ilham mampu membalikkan keadaan tepat saat Bibis yakin akan menang. Begitu cepat, barusan lengan Ilham menyerang dengan kilat sehingga Bibis telat menyadari kekalahannya.
Ilham segera mendapat jabat tangan meriah dari kawan-kawan sekutunya, sementara Bibis dikerumuni anak-anak perempuan yang tetap menyemangatinya dengan setia.
"Udah, Bis, gapapa, Al Qur'an kan emang ga mungkin keliru," ujar Shafiyah sambil menepuk halus bahu Bibis
"Iya, Ar rijalu qowamuna 'alan nisaa" tambah Khadijah
"Ish, bukan gitu tafsirnya, tau ! Nisaa' itu kan sebutan buat orang yang udah nikah ! Jadi ya, kalo udah nikah baru bisa disebut qowam bagi rijal yang jadi suaminya, kayak Ummi sama Abinya Bibis" kata Bibis asal di tengah emosi, anak perempuan yang mengelilinginya sontak terdiam. Tercenung, emang ada ya, tafsir kayak gitu? Mereka diam, telah dididik untuk diam atas hal yang tidak diketahuinya.
Akhirnya Bibis kembali ke tengah ruangan, di dekat meja yang membuatnya merasa terhina barusan. Masih emosi, ia melabrak kerumunan anak laki-laki yang berbahagia itu, "Heh, aku bisa ngelakuin hal yang kalian gak bisa lakuin !"
"Udahlah, kalo udah kalah ya kalah aja !" jawab Ilham sengit
"Nih !" seru Bibis
Kelas itu benar-benar membeku, tak mampu memberi tanggapan dan nasehat lagi. Tepat setelah pintu kelas mereka terbuka, barulah terdengar suara, "Astaghfirullahal'adzim, Bisyaroh….." Ustadzah Aisyah yang baru masuk segera berseru lemas. Di bias tangkapan retinanya, Bisyaroh, salah seorang muridnya yang cerdas dan sering berulah itu, menatapnya dengan takut, rambut hitamnya telah tergerai, kerudung putihnya dipeganginya sambil gemetar.
Anak-anak segera berpencar, saling membantu membenahi kelas mereka lagi.
Bibis melangkah ke muka kelas, memberi ruang bagi teman-temannya, "Mutaassif, Ustadzah, Bibis ga terima dikalahin Ilham." katanya, sambil menangis.
Ustadzah Aisyah bersegera melangkah, memakaikan lagi jilbab putih yang telah dijatuhi beberapa bulir basah.

“Ustadzah jangan bilang ke Ummi ya?” sambil sesenggukan Bibis memohon, matanya menatap wajah Ustadzah Aisyah, memelas. Dibalas senyum simpul yang menenangkan dan anggukan sederhana, Bibis berterimakasih, “tapi Bibis harus cerita di rumah nanti ya, ini PR spesial buat Bibis loh,” tambah Ustadzah dan beranjak menuju mejanya setelah membelai singkat kepala Bibis yang sekarang telah kembali berjilbab putih. Ia kembali ke mejanya yang telah rapi dibantu teman-temannya tadi, siap menerima pelajaran lagi. Sebagian besar anak-anak laki-laki masih geleng-geleng kepala, sementara Khadijah dan Janna yang duduk di kanan-kiri Bibis, tetap memberikan senyuman dukungan ketika Bibis melihat mereka satu per satu. Kepalanya masih berpikir keras. Tidak mau kalah.

Saturday, August 10, 2013

Ngegaco

Sekali-kali coba menulis hal yang ringan. Menulis yang apa adanya. Kejadian, baru pemikiran. Dari konkret ke pengilhaman. Bukan sebaliknya. Sesekali. Mira kan seringnya coba meguraikan term baru konteks.  Someone
(trial and error)
Gue mau cerita kejadian lucu. Tapi mungkin ini lucu bagi gue aja sih. Haha… soalnya kadang-kadang yang menurut gue lucu ga lucu bagi orang lain. -___-
Contohnya, suatu hari pas lagi ngumpul-ngumpul ngobrol sama anak Sakinah gitu, gue ketawa ngikik ampe perut sakit, pas ditanya kenapa bisa sampe ketawa segitunya, gue ceritain kan, ada nama adek tingkat gue yang ditulisnya salah di papan pengumuman kampus. Krik-krik. Sumpah, haha, ga ada yang merasa itu lucu, kalaupun lucu, iya, ga segitunya. Laki fearless banget kan? Ahahaha #apasih
Gue suka sering banget bikin kekacauan. Salahsatunya pas momen satu ini.
Jadi waktu itu gue lagi di Bogor, nginep di villa pusat pendidikannya Mahkamah Konstitusi. Tahun ini sih, lebih tepatnya bulan April kemarinan. Gue, bareng temen-temen fakultas hukum, berlimaan ada gue, zihan, iis, yati dan bagus, plus satu dosen pembimbing (pak dahlan) dan kabag kemahasiswaan kita (pak edy), nginep disana selama sekitar – kalo ga salah inget – empat malem. Emang bukan takdir bahagia juga sih kalo kita ga menang apa-apa selama disana. Bukan hanya karena kans kecil – yang emang asli secara logis iya beneran – tapi emang ada banyak kekurangan yang sedih banget buat di-inget-inget hahahah. Astaghfirullah.
Di malam terakhir sebelum hari kepulangan, gue ga bisa tidur. Sebenernya emang bukan hal luar biasa sih itu, hehehe. Juga, ada yang lagi gue pikirin, soal masa depan debat hukum di kampus gue. Kalo gini terus caranya, kompetisi ini ga akan diasuh professional dong. Sayang banget. Jadilah gue ngonsep-ngonsep ga jelas di kamar sampe suntuk sendiri. Tilawah. Dan. Masih kepikiran juga.
Di saat yati, zihan sama iis udah pada tidur – sebenernya udah dari tadi – gue akhirnya memutuskan ngeborong buku-buku dan laptop ke luar kamar, belom tau sih kemana tapi gue langsung terilhami gitu pas liat ruang pertemuan utama kosong. Disana lagi berisik, ada beberapa bapak yang lagi masang tirai buat ngelapis dinding-dinding kaca ruangan. Sekitar hampir tengah malam. Gue gaya polos gitu, setelah ngelabrak – haha soalnya pas gue sapa bapaknnya pada kaget gitu – minta izin, gue duduk ngelappy, bolak-balik buku, ngantongin kunci kamar yang udah gue pake dari luar. Dan. Gak bawa hape.
Sekitar tiga jam berlalu. Gue kayak semacam efek ‘ngimpi’ nyadar-nyadar ngeliat tampang si bagus yang asli bikin ngakak gara-gara keliatan maksa bangun tidur di tengah kengantukannya – mungkin. Ngapain lagi nih bocah. Lo ngapain disini, katanya sambil pake tampang plus nada yang bikin kasian, Iis nyariin lo, panik gara-gara kamar dikunci dari luar, balik ke kamar. Selesai bertugas menyampaikan titah iis, bagus langsung balik lagi ke kamarnya.
Dengan segala ke-speechless-an, gue bebenah. Oke, fine. Masi mikir. Lebay amat orang-orang, ngapa gak tidur aja baik-baik biar besok pada bisa bangun pagi-pagi. Konsep gue juga belom utuh, bahan bukunya belom gue sempet puasin kebaca semua. Kalo gini caranya gue pasti dipaksa tidur sama Iis dan besok bangun kesiangan. Padahal gue udah rencana gak tidur malam ini so bisa berbahagia pulas di pesawat sambil duduk safety di samping Iis, Zihan atau Yati. Kacau deh. Gue emang ga tau terimakasih. Ahaha. Waktu itu. Kan belom paham.
Next. Ini hal lucunya. Gue ga janji, ya, bakal bikin kalian ketawa atau malah bikin #ngek dan bilang, “ah sampahan”, ahahaa… #lebay
Intinya pas gue sampe kamar sebuah informasi we-o-we mampir di kuping, “Iya, akhirnya aku telpon bagus minta tolong nyariin kamu. Jangan-jangan mira ngigo trus ke kamar Si *sensor*…”
Gue kaget sekaligus ga bisa nahan ketawa. Si *sensor* yang dimaksud Iis itu cowok univ lain yang ‘diduga’ gue ‘suka’. Tapi aslinya, ga gitu juga. Iya, sih, ngga, kok. Akakakak.
Tuh kan, gak lucu yak, hehe. Kata seorang calon maba fk ini ga lucu samasekali, komentarnya pedes banget, “Itu biasa banget buat awam kali kak, lucu tuh kalo tiba-tiba di kamar lo ada beruang terus dia bilang, ‘selamat ulang tahun mira’ sambil salto dan lo bilang ‘sorry gue nyalaf soal perayaan’ terus pada bengong semua dan…” bla-bla-bla.
Gue sekedar kangen sih, sekaligus masih sensasi we-o-we banget Si Iis bisa sampe mikir gue ngigo jalan ke kamar si *sensor*. Gila, gue ga segitunya, kali. Gue malah jadi kocak aja, Sumpah dah, ahahhah…

Makasi Iis, Makasi Bagus, Makasi juga Zihan dan Yati, Pak Edy dan Pak Dahlan juga. J

Saturday, July 20, 2013

Terhenyak

Suatu hari, samar-samar saya terhenyak. Ketiduran di siang bolong, di atas meja belajar. Sekolah. Kelas Fisika.
Waktu itu, entah kenapa, saya tidak 'dipaksa' bangun seperti biasa. Lewat sindiran guru kami yang begitu rendah hati dan baik prasangka :) atau lewat cubitan kecil teman sebangku saya yang asli Bali itu. Saya terhenyak, samar-samar. Begitu saja. Tiba-tiba melihat seisi ruangan khusyuk mendengarkan guru kami menguraikan penjelasannya soal 'hambatan'. Mengulang materi dalam rangka persiapan ujian nasional. Ini ruang kelas XII IPA 3. Gila. Bisa-bisanya.
Senyum itu muncul tiba-tiba. Memaksa saya melihatnya, katanya, "Duh Mira, jago Biologinya ya.". Saya semakin 'ngimpi' nyadar-nyadar. Entah, kata-kata sederhana seperti itu tiba-tiba saja menderu, mengelebat, hati kecil saya cuma menjawab lesu, "Ga juga kali, emang di semua mapel rata-rata gue ga jago."

Saya ingin bisa berkata-kata yang sederhana. Seperti juga keterhenyakan saya kemarin lalu.

Dinding-dinding yang berlekatan. Di sisi-sisinya ada cincin-cincin bangunan yang membentuk relung-relung lautan. Semacam itu. Di balik kaca kereta.
Matarmaja yang membelah kota Semarang malam tadi. Tiba-tiba saja. Menjemput nyala-nyala pantulan cahaya kota yang di kejauhan. Di samping saya, di luar saya. Saya terhenyak, ya, sadar bahwa bibir ini menggumam sendiri atas keterkejutannya, "subhanallah"

Suatu hari juga saya ingin lagi diajari dengan sederhana. Membaca buku yang mudah dicerna. Bicara dengan bahasa lucu yang membuat tertawa.

Meja lingkaran warna merah muda. Di atas karpet hijau bunga-bunga. Si 'kabar gembira' bilang, 23 kali 15 berapa? '325' 24 kali 15 '360' kalo 5 kali 15? 'berapa' berapa ka? 'berapa...' ih berapa 'hm' 75
Katanya, "jadi kalo ada angka genap jadi sepuluh kalo ganjil jadi setengah ka?" Masa.. "Iya, ka," Masa sih... "Iya, kaka yang bilang, kalo setengah dibagi setengah jadi genap kalo genap dibagi ganjil jadi setengah." Ha?? "IYAAAA" Siapa bilang begitu? "Kaka, aku ngisi ujian pecahan kayak gitu tadi. Jadi aku ga mikir, topceer pokonya, rumus kaka, 3 menit udah selesai semua soal, hehehhee" Dan sesederhana bahwa, saya jadi merasa bersalah. Saya memang ga cocok jadi guru bimbel SD. Dan tawa kami bergentayangan di ruangan, si 'kabar gembira' tetap gaya dengan tampang percaya dirinya. Katanya, lain kali bisa lebih jauh lagi mencerna 'ajaran-ajaran' dalam obrolan kami. IQ beliau kan cuma 120, bukan 210. Saya sekali lagi merasa bersalah.

Dan setiap kali terdengar adzan yang bergema. Saya rindu di masa depan, menangkap kelugasan dan kejujuran. Bahwa syiar dakwah ini begitu lurus. Begitu senarai nyata soal perjuangan. Tidak licik, tidak berbelok, tidak menahan kasih sayang.

Berkata-kata yang tulus dan penuh prasangka baik sekalipun dalam 'kegelisahan' seperti yang ditunjukan guru fisika kami. Mengucap kesyukuran seketika merasakannya. Juga menarik kepercayaan sepolos dan semudah anak kelas 5 SD yang belajar hitungan. Selugas adzan kami yang 5 kali sehari. Ayo Sholat, Ayo menuju kemenangan.

Allahu Rabb, Allahu Ghoyatuna.
Ya Allah bukakanlah setiap baris-baris pintu hidayahMu, untuk kami.
Sekedar merintih, menyaksikan waktu-waktu. Melihat amal-amal yang belum sempurna. Diri-diri yang berlumuran dosa. Dan kedekatan hari-hari pertemuan. :')