Friday, June 28, 2013

Mohon Maaf

Setiap hal adalah kesyukuran. Setiap lirih suara adalah doa. Setiap kamu adalah permata. Setiap tarikan nafas adalah waktu-waktu. Setiap aku adalah kecintaan. Tulus yang berbuah jadi kemurnian siklus kehidupan.

Aku jadi sendu. Keheningan malam yang seperti biasa, nyinyir bergelayutan di dinding-dinding kamar. Di saat seperti ini, diam adalah cara tasbih berbisik, mengangkat dirinya ke 'Arsy. Diam adalah ilmu siklus bertahan, lekuk keberanian yang terbayang, diam. Menyegerakan diamnya, mengangkat kerinduan menuju Allah azza wa jalla.

Aku tidak bisa belajar tanpa diam, rupanya.
Sebab diam adalah ilmu alam. Kelam yang meredefinansi malam.

Aku jadi sendu. Sedikit bercerita. Mari kita bercerita. :)

Malam itu aku merasa begitu hinanya. Seseorang, "Kenapa lo ga bilang aja semuanya mir? Kenapa lo cuma diam, bilang seadanya?". Aku merasa begitu rendahnya, "Besok-besok kalau pulang malam harus ada temennnya ya." Semacam itu. Semacam sendu. Semacam menangis di kediaman.

Aku yang seperti ini begitunya. Sebegitu banyaknya bicara. Sebegitu belagak tahu dan hebat. Aku yang seperti itu. Tersentuh.

Aku ingin jadi orang mudah tersentuh. Belajar bagaimana aku bisa tersentuh, karena kata-kata, karena klasif premier persaudaraan. Sebab sesekali, aku bisa juga, tersentuh. Membayar harga tinggi bagi kemanusiaan. Sesekali.

Sebab tidak masalah untuk jatuh atau sakit atau tersakiti. Sebab ketersentuhan seperti itu membuatku begitu merasa memiliki seseorang. Sebab ketersentuhan seperti itu membuatku merasa menjadi seseorang. Bukan menjadi orang gila sombong yang hidup untuk apa yang diketahuinya. Atau pemarah nakal yang suka berbuat seenaknya. Anak yang tidak berbakti atau kakak yang tidak memilki adik. Karena aku tahu, sebenarnya, aku tak memiliki siapa dan apapun untuk seseiapa yang diriku. Sebab ketersentuhan seperti itu, menguatkanku.

Sekedar bahwa, memaknai. Semacam aku, mengukur tendensi rasa-rasaku. Sebab ternyata Allah menjadikan yang sedemikian rupa aku dan diriku. Mereka dan diri-diri mereka. Di tempat ini. Di kota ini.
Bertahan, sebentar lagi.

Malam tadi, aku tersentuh. "Dia pun juga banyak kamu sakiti mir,". Atau "Semoga aja persahabatan kamu itu, ga kayak yang sebelumnya, meninggalkan ketika ga bisa mewujudkan visimu lagi.". "Selama ini yang aku rasakan keangkuhan, mir."

Aku yang memang sebegitunya seperti ini. Sebegininya banyak menyakiti. Sebegini seringnya kelu memahami. Ya, sebegini jauhnya dari kerendahan hati.

Aku ingin kata-kataku jadi pecah parau, sesekali. Tidak memikirkannya. Menyadari bahwa, memang benar begitu banyaknya kehinaan dalam diri. Begitu banyak kasih yang sulit terkomunikasikan. Begitu aku tersentuhnya, sesekali, merasa disalahpahami.

Mari bercerita, ayo kita bercerita seadanya, katamu, ini obatku, bukan?

Sebab tidak masalah untuk jatuh atau sakit atau tersakiti. Sesegera seperti sulit menjalaninya. Sesegera seperti ingin melepaskannya. Sesegera tersentuhnya, menyadari ketiadaan. Menyadari bahwa begitu rumitnya  aku di sisimu. Menyadari bahwa sulit untuk sekedar setara, bisa bersamamu, sahabat.

Tersentuh, bahwa tak memiliki seseorang, Bukan seseorang. Cuma anak nakal yang bicara seenaknya. Cuma anak kecil yang berpose dewasa. Cuma idiot yang tidak mampu berjalan jauh, seakan-akan tahu segalanya. Seakan-akan memiliki sesuatu. Seakan-akan.

Padahal tidak.

Aku ingin bercerita, cerita seadanya saja. Yang pecah bergemeretak. Semerdunya rintisan air ciirrue cumulus. Setinggi falcon yang terbang, bicara pada hutan.

Mohon maaf. Mohon maaf. Mohon maaf.
Mohon maaf. Mohon maaf. Mohon maaf.
Mohon maaf. Mohon maaf. Mohon maaf.

Menuju Stadium Pertengahan

                Tidak ada yang perlu kita takuti. Sebab lintasan pikiranku berkata bahwa tidak ada benang yang sebegitu ikhlasnya menenun yang bukan peruntukkannya. Tidak ada yang perlu kita khawatirkan. Sesederhana bicara bahwa masih ada esok hari. Sesederhana bahwa Allah tak pernah mengingkari.
                Aku tidak takut. Pula tak khawatir. Hanya terpana. Terdiam sementara. Mencerna bahwa, ada begitu banyak hal yang harus dipelajari. Menelusuri teka-teki, kejadian ini dan pikiran itu, putaran sinkronisasi yang luarbiasa, tak terelakkan, perbendaharaan beda dan sama.
                Hanya terpana, butuh waktu untuk menelusuri hakekat di dalamnya. Menguatkan diri kembali. Mengasah kepekaan yang mulai menua, retak bergemeretak, pecah menggoreskan sebaran kesakitan. Sekedar bahwa, begitu banyak hal yang harus dipelajari.
                Bukan tentang bisa lebih marah daripada kamu atau aku. Bukan tentang lebih mampu marah. Kata-kata seperti itu, bukan kata-kata seorang yang punya logika, tentu saja. Aku berlalu.
                Sekedar bahwa, ada begitu banyak kasih yang sulit terkomunikasikan. Melihat mereka, begitu kuat dan siapnya. Menggiring kami. Menyadari bahwa terkuatkan. Aku terkuatkan, menyerap lebih banyak kekuatan. Oh, ternyata sejahat itu mereka. Oh, ternyata sebegitu rapi juga kejahatan mereka. Oh, ternyata sebegitunya mereka membenciku, tak percaya kata-kataku.
                Sekedar bahwa, tak ada lagi jabat tangan untuk orang yang mengingkari senyuman. Mereka memilih bicara pada yang tak bisa dipercaya. Bersepakat pada yang kata-katanya tak pernah bisa dikata-katakan. Pada yang bicara bahwa kebebasan itu milik manusia. Pada yang berkeyakinan bahwa kesetaraan itu mereka yang tentukan batasannya. Pada mereka.
                Sekedar bahwa, ada begitu banyak kasih yang sulit terkomunikasikan. Saat mereka begitu rela menggadaikan logika demi kemenangan pesanannya. Saat yang lebih muda, tidak punya sopan santun. Saat yang lebih muda begitu percaya diri bicara menekan, seakan memiliki semua teori. Saya hanya terkesima. Ah, sebegitunya. Innalillahi.

Wednesday, June 19, 2013

Relief

Sebuah abstraksi rupanya memang bukanlah term futuristik yang dapat diandalkan. Kita bisa saja menyentuh ruang abstraksi, sekalipun kita hanyalah seorang penceloteh. Seperti misalnya, pendongeng.

Seseorang yang saya kenal pernah bicara soal abstraksi. Katanya, "sebuah permulaan, penting tapi belum selesai dan mengulas itu hanya membuang waktu, putar pikir untuk kembali ke masa lampau." Ia bosan, senyumnya mengembang, lalu tawanya kembali retak, "ngomongin yang lain aja yuk," ujarnya.

Bola matanya berbinar dan aku rindu. Menyadari bahwa suatu hari di hari ini aku tak mampu berkata banyak. Kelu menanggung pemahaman, kaku memulai kesederhanaan, jadi sepicik lembutan awan cirrue cumulus, berembun tapi tak hujan. Atau katanya, "setinggi burung falcon, membuang untuk mencari".

Sebab Allah memberikan rahmatNya untuk siapa yang Dia kehendaki dan mencabutnya untuk yang Dia kehendaki pula.

Sahabat, beberapa orang memang tidak tertakdirkan untuk dicintai sepertimu. Sahabat, beberapa orang memang tidak tertakdirkan untuk seperti itunya diterima seperti mudahnya kamu. Sahabat, beberapa orang memang tidak semenyenangkan itu untuk selalu diajak bersenang-senang. Beberapa orang yang kurang peka, kurang daya, kurang kepahaman, kurang ketahanan.

Aku rindu. Kerinduanku jadi semacam pil melarikan diri. Kerinduanku jadi semacam mengingatmu lagi, saat aku tak perlu susah bertanya, saat aku tak perlu memulai segalanya. Saat kau bilang bosan sambil terdengar tawa retakmu, sungkan, aku sungkan, tidak peduli.

Setiap orang adalah premier, bagimu. Sebagiannya secondary, bagiku. Kau premier, aku secondary, terpaksa, kita bersepakat. Secondary yang memaksa seorang premier bersepakat. Terjebak dalam blurring. Kau menang juga, akhirnya.

Sebab dunia yang kau katakan itu, benar adanya juga, rupanya.
Saat tidak diterima, saat tak mampu berkata-kata. "Saat terlalu banyak abstraksi. Mula yang belum selesai," katamu, "kau".