Thursday, August 29, 2013

Al Banaat : Part One (Bisystory)

Ruang kelas 1B tiba-tiba jadi arena ketegangan. 35 anak umur 11 tahun itu jadi semacam pusaran manusia berseragam putih-hitam. Di tengah pusaran itu, sepasang bocah laki-laki dan perempuan tengah berhadapan dengan serius, menjadi sumber ketegangan di kelas itu. Ilham, nama bocah laki-laki itu, dengan emosi menantang, "Oke, kita adu panco aja kalo gitu !"
Si bocah perempuan bergidik, bukan karena ia takut adu fisik, ia tidak benar-benar tahu jenis permainan itu. Diputarnya bolak-balik akalnya, "panco"…. Bagian tubuh yang mana yang disebut panco dan bisa diadu? Apa Cuma anak laki-laki yang punya 'panco'? Sehingga Ilham yang dilihatnya sekarang sedang tertawa sinis karena sudah membayangkan kemenangan.
"Oke! Siapa takut!" serunya keras kepala
33 penonton setia itu sejengkal mundur memberi ruang, seorang bocah berbadan paling besar di antara mereka, Fitra, mendorong sebuah meja belajar ke tengah. Ilham  makin percaya, anak perempuan seperti Bibis, tidak mungkin bisa menang adu panco dengannya. Walaupun Bibis tidak tergolong kurus juga tidak lemah di kelas olahraga, tapi mana mungkin ia yang jago bulutangkis, bisa kalah? Ilham menyeringai, membayangkan kemenangan, kepahlawanan dirinya dan kepengecutan Bibis.
Bibis, anak perempuan dengan pipi merona panas itu, semakin bingung, permainan macam apa yang telah disetujuinya secara bodoh untuk menjadi babak kesekian yang dilaluinya untuk menarik pembuktian 'siapa yang terbaik antara Ilham dan Bibis' yang selanjutnya melebar menjadi 'siapa yang terbaik antara anak perempuan dan anak laki-laki' di kelas itu.
Ilham telah mengambil posisinya, meletakkan siku tangan kanannya di atas meja dan jemarinya bersiap mencengkram sekuat tenaga telapak Bibis yang dilihatnya relatif lebih ringkih darinya.
Akhirnya Bibis selesai dari kebingungannya soal 'adu panco', tersadar dan langsung berjalan dengan gaya percaya diri, mengangkat wajahnya dan menantang Ilham dengan memunculkan wajah menyebalkan, tersenyum asimetris, seakan ia akan menang.
Ia tercenung tiba-tiba di depan meja, di tengah riuh rendah suara teman-temannya yang menyemangati.
"Ini ga syar'i." katanya. Ilham membangun dirinya dari posisi siap siaga, berdiri.
"Hm," gumam Ilham menyetujui, suasana kelas berubah sunyi.
Beberapa anak berjalan ke tas dan meja mereka untuk mengambil buku pelajaran hadist shohih.  Faradina, seorang sahabat mereka di kelas itu, langsung membacakan sanad hadist yang dimaksud Bibis, "La Ayyuth 'ana fii ro'si ahadikum bi mikhyathi min hadiid khoirullahuu…"
"Min ayyamussa m roatal laa tahhilulahu…" lanjut Bibis mengandalkan hafalannya dengan percaya diri walaupun mengandung kesalahan lafal.
"Sekiranya kepala salah seorang di antara kamu ditusuk dengan senjata tajam, lebih baik dari memegang wanita yang bukan mahramnya. Riwayat Thabrani dan Baihaqi" perjelas Ilham.
35 anak itu tiba-tiba lemas. Padahal mereka sangat ingin menyaksikan pertandingan itu.
"10 menit lagi jam main kita selesai, mending selesain tugas matematika aja, kali ya, shohabati" ujar Ahmad, ketua kelas mereka.
Setengah dari mereka mengangguk menyetujui. Bibis menggigit bibir bawahnya menyesal, hadist yang tadi kan bisa disampaikan belakangan, setelah pertandingan mereka selesai, pikirnya. Sementara Ilham memegang meja yang di tengah ruangan, berniat mengembalikannya ke posisi semula, meja itu milik Ghina yang tengah menunggu kelas kembali pulih dari kekacauan. Sama seperti yang lain. Anak-anak kelas 1B SMP IT Qalbin Saliim tengah membenahi meja warna-warni mereka dan mulai menarik kursi yang menempel di langit meja sebelah bawahnya, bersiap mengerjakan tugas matematika seperti taujihat Sang ketua kelas.
"Kita cari pertandingan syar'I besok, malam ini kita sama-sama pikirkan dan besok segalanya berakhir, oke, ar rijalu qowam 'alan nisa !" seru Ilham serius
Bibis mendengus kesal, jiwanya menolak mendengar kalimat Ilham.
"Emang bibis itu imro'at ya?" kata Faqih, anak laki-laki berambut keriting itu santai di tengah kesibukannya membantu teman-temannya membenahi susunan meja mereka.
"Iya, kita kan masih anak kecil, tau, belum baligh. Al Banaat, tadi sanadnya kan pakenya imro'at" sambut Faradina menengok ke arah Faqih, bersemangat.
35 anak itu kembali dipersatukan dengan satu fokus pikir, peperangan Ilham dan Bibis, yang kini keduanya sontak saling berpandangan, mengumandangkan genderang perang untuk kesekian kalinya. Keduanya kembali melangkah ke tengah ruangan, Ilham kembali menarik meja Ghina yang di barisan kedua deret ketiga ke tengah ruangan.
"Beneran?" tanya Ahmad yang mulai kembali tersita perhatiannya.
"Hontou, hontou" jawab Bibis asal, mengikut kebiasaan Ummi di rumah
"Surely !" sahut Ilham serius.
Maka Ahmad beranjak berdiri, meninggalkan buku matematikanya yang sudah tersibak, berjalan ke tengah ruangan, diikuti seluruh teman-temannya yang kini kembali membentuk pusaran bocah berseragam hitam-putih. Ilham dan Bibis sudah saling berhadapan di tengah ruangan, saling mencengkram, siap melangsungkan pertandingan.
"Oke, a… ba… ta !" aba-aba Ahmad seketika disambut sorak-sorai yang saling bersahutan dengan semangat.
"Bibis… Bibis… Bibis…" anak-anak perempuan berteriak nyaring
"Ilham… Ilham… Ilham…" anak-anak laki-laki tidak mau kalah
Ilham masih terus mencengkram tangan Bibis tanpa ampun, disana letak strateginya, membuat lawannya habis tenaga sehingga pertahanannya mudah diruntuhkan. Bibis yang sejak aba-aba Ahmad tadi telah mengukur kekuatan Ilham, rupanya memang tidak mudah dikalahkan, ia mengambil strategi meletakkan kekuatannya di batang lengan. Sehingga pertandingan itu menjadi begitu seru, berkali-kali Ilham hampir menjatuhkan lengan Bibis ke meja, tapi itu belum berhasil selama tiga menit ini, sementara Bibis baru dua kali hampir menjatuhkan Ilham dengan tenaga-tenaga sisa.
"Bibisssssss !!!! Bibis… Bibis… Bibis…!" lengkingan itu semakin keras searah dengan lengan Bibis yang mendominasi Ilham, anak laki-laki di kelas itu jadi terdiam, berdoa dalam hati agar rekan mereka bisa bangkit dari keterdesakan.
Pada menit keempat di saat para penonton mulai lelah bersorak dan bulir keringat jatuh dari kedua wajah yang memerah, Bibis yang sejak tadi diam akhirnya mengerang keras, "Ish !".
"Yeah !" seru Ilham. Menang. Ilham mampu membalikkan keadaan tepat saat Bibis yakin akan menang. Begitu cepat, barusan lengan Ilham menyerang dengan kilat sehingga Bibis telat menyadari kekalahannya.
Ilham segera mendapat jabat tangan meriah dari kawan-kawan sekutunya, sementara Bibis dikerumuni anak-anak perempuan yang tetap menyemangatinya dengan setia.
"Udah, Bis, gapapa, Al Qur'an kan emang ga mungkin keliru," ujar Shafiyah sambil menepuk halus bahu Bibis
"Iya, Ar rijalu qowamuna 'alan nisaa" tambah Khadijah
"Ish, bukan gitu tafsirnya, tau ! Nisaa' itu kan sebutan buat orang yang udah nikah ! Jadi ya, kalo udah nikah baru bisa disebut qowam bagi rijal yang jadi suaminya, kayak Ummi sama Abinya Bibis" kata Bibis asal di tengah emosi, anak perempuan yang mengelilinginya sontak terdiam. Tercenung, emang ada ya, tafsir kayak gitu? Mereka diam, telah dididik untuk diam atas hal yang tidak diketahuinya.
Akhirnya Bibis kembali ke tengah ruangan, di dekat meja yang membuatnya merasa terhina barusan. Masih emosi, ia melabrak kerumunan anak laki-laki yang berbahagia itu, "Heh, aku bisa ngelakuin hal yang kalian gak bisa lakuin !"
"Udahlah, kalo udah kalah ya kalah aja !" jawab Ilham sengit
"Nih !" seru Bibis
Kelas itu benar-benar membeku, tak mampu memberi tanggapan dan nasehat lagi. Tepat setelah pintu kelas mereka terbuka, barulah terdengar suara, "Astaghfirullahal'adzim, Bisyaroh….." Ustadzah Aisyah yang baru masuk segera berseru lemas. Di bias tangkapan retinanya, Bisyaroh, salah seorang muridnya yang cerdas dan sering berulah itu, menatapnya dengan takut, rambut hitamnya telah tergerai, kerudung putihnya dipeganginya sambil gemetar.
Anak-anak segera berpencar, saling membantu membenahi kelas mereka lagi.
Bibis melangkah ke muka kelas, memberi ruang bagi teman-temannya, "Mutaassif, Ustadzah, Bibis ga terima dikalahin Ilham." katanya, sambil menangis.
Ustadzah Aisyah bersegera melangkah, memakaikan lagi jilbab putih yang telah dijatuhi beberapa bulir basah.

“Ustadzah jangan bilang ke Ummi ya?” sambil sesenggukan Bibis memohon, matanya menatap wajah Ustadzah Aisyah, memelas. Dibalas senyum simpul yang menenangkan dan anggukan sederhana, Bibis berterimakasih, “tapi Bibis harus cerita di rumah nanti ya, ini PR spesial buat Bibis loh,” tambah Ustadzah dan beranjak menuju mejanya setelah membelai singkat kepala Bibis yang sekarang telah kembali berjilbab putih. Ia kembali ke mejanya yang telah rapi dibantu teman-temannya tadi, siap menerima pelajaran lagi. Sebagian besar anak-anak laki-laki masih geleng-geleng kepala, sementara Khadijah dan Janna yang duduk di kanan-kiri Bibis, tetap memberikan senyuman dukungan ketika Bibis melihat mereka satu per satu. Kepalanya masih berpikir keras. Tidak mau kalah.

Saturday, August 10, 2013

Ngegaco

Sekali-kali coba menulis hal yang ringan. Menulis yang apa adanya. Kejadian, baru pemikiran. Dari konkret ke pengilhaman. Bukan sebaliknya. Sesekali. Mira kan seringnya coba meguraikan term baru konteks.  Someone
(trial and error)
Gue mau cerita kejadian lucu. Tapi mungkin ini lucu bagi gue aja sih. Haha… soalnya kadang-kadang yang menurut gue lucu ga lucu bagi orang lain. -___-
Contohnya, suatu hari pas lagi ngumpul-ngumpul ngobrol sama anak Sakinah gitu, gue ketawa ngikik ampe perut sakit, pas ditanya kenapa bisa sampe ketawa segitunya, gue ceritain kan, ada nama adek tingkat gue yang ditulisnya salah di papan pengumuman kampus. Krik-krik. Sumpah, haha, ga ada yang merasa itu lucu, kalaupun lucu, iya, ga segitunya. Laki fearless banget kan? Ahahaha #apasih
Gue suka sering banget bikin kekacauan. Salahsatunya pas momen satu ini.
Jadi waktu itu gue lagi di Bogor, nginep di villa pusat pendidikannya Mahkamah Konstitusi. Tahun ini sih, lebih tepatnya bulan April kemarinan. Gue, bareng temen-temen fakultas hukum, berlimaan ada gue, zihan, iis, yati dan bagus, plus satu dosen pembimbing (pak dahlan) dan kabag kemahasiswaan kita (pak edy), nginep disana selama sekitar – kalo ga salah inget – empat malem. Emang bukan takdir bahagia juga sih kalo kita ga menang apa-apa selama disana. Bukan hanya karena kans kecil – yang emang asli secara logis iya beneran – tapi emang ada banyak kekurangan yang sedih banget buat di-inget-inget hahahah. Astaghfirullah.
Di malam terakhir sebelum hari kepulangan, gue ga bisa tidur. Sebenernya emang bukan hal luar biasa sih itu, hehehe. Juga, ada yang lagi gue pikirin, soal masa depan debat hukum di kampus gue. Kalo gini terus caranya, kompetisi ini ga akan diasuh professional dong. Sayang banget. Jadilah gue ngonsep-ngonsep ga jelas di kamar sampe suntuk sendiri. Tilawah. Dan. Masih kepikiran juga.
Di saat yati, zihan sama iis udah pada tidur – sebenernya udah dari tadi – gue akhirnya memutuskan ngeborong buku-buku dan laptop ke luar kamar, belom tau sih kemana tapi gue langsung terilhami gitu pas liat ruang pertemuan utama kosong. Disana lagi berisik, ada beberapa bapak yang lagi masang tirai buat ngelapis dinding-dinding kaca ruangan. Sekitar hampir tengah malam. Gue gaya polos gitu, setelah ngelabrak – haha soalnya pas gue sapa bapaknnya pada kaget gitu – minta izin, gue duduk ngelappy, bolak-balik buku, ngantongin kunci kamar yang udah gue pake dari luar. Dan. Gak bawa hape.
Sekitar tiga jam berlalu. Gue kayak semacam efek ‘ngimpi’ nyadar-nyadar ngeliat tampang si bagus yang asli bikin ngakak gara-gara keliatan maksa bangun tidur di tengah kengantukannya – mungkin. Ngapain lagi nih bocah. Lo ngapain disini, katanya sambil pake tampang plus nada yang bikin kasian, Iis nyariin lo, panik gara-gara kamar dikunci dari luar, balik ke kamar. Selesai bertugas menyampaikan titah iis, bagus langsung balik lagi ke kamarnya.
Dengan segala ke-speechless-an, gue bebenah. Oke, fine. Masi mikir. Lebay amat orang-orang, ngapa gak tidur aja baik-baik biar besok pada bisa bangun pagi-pagi. Konsep gue juga belom utuh, bahan bukunya belom gue sempet puasin kebaca semua. Kalo gini caranya gue pasti dipaksa tidur sama Iis dan besok bangun kesiangan. Padahal gue udah rencana gak tidur malam ini so bisa berbahagia pulas di pesawat sambil duduk safety di samping Iis, Zihan atau Yati. Kacau deh. Gue emang ga tau terimakasih. Ahaha. Waktu itu. Kan belom paham.
Next. Ini hal lucunya. Gue ga janji, ya, bakal bikin kalian ketawa atau malah bikin #ngek dan bilang, “ah sampahan”, ahahaa… #lebay
Intinya pas gue sampe kamar sebuah informasi we-o-we mampir di kuping, “Iya, akhirnya aku telpon bagus minta tolong nyariin kamu. Jangan-jangan mira ngigo trus ke kamar Si *sensor*…”
Gue kaget sekaligus ga bisa nahan ketawa. Si *sensor* yang dimaksud Iis itu cowok univ lain yang ‘diduga’ gue ‘suka’. Tapi aslinya, ga gitu juga. Iya, sih, ngga, kok. Akakakak.
Tuh kan, gak lucu yak, hehe. Kata seorang calon maba fk ini ga lucu samasekali, komentarnya pedes banget, “Itu biasa banget buat awam kali kak, lucu tuh kalo tiba-tiba di kamar lo ada beruang terus dia bilang, ‘selamat ulang tahun mira’ sambil salto dan lo bilang ‘sorry gue nyalaf soal perayaan’ terus pada bengong semua dan…” bla-bla-bla.
Gue sekedar kangen sih, sekaligus masih sensasi we-o-we banget Si Iis bisa sampe mikir gue ngigo jalan ke kamar si *sensor*. Gila, gue ga segitunya, kali. Gue malah jadi kocak aja, Sumpah dah, ahahhah…

Makasi Iis, Makasi Bagus, Makasi juga Zihan dan Yati, Pak Edy dan Pak Dahlan juga. J