Ruang kelas 1B tiba-tiba jadi arena
ketegangan. 35 anak umur 11 tahun itu jadi semacam pusaran manusia berseragam
putih-hitam. Di tengah pusaran itu, sepasang bocah laki-laki dan perempuan
tengah berhadapan dengan serius, menjadi sumber ketegangan di kelas itu. Ilham,
nama bocah laki-laki itu, dengan emosi menantang, "Oke, kita adu panco aja
kalo gitu !"
Si bocah perempuan bergidik, bukan karena ia
takut adu fisik, ia tidak benar-benar tahu jenis permainan itu. Diputarnya
bolak-balik akalnya, "panco"…. Bagian tubuh yang mana yang disebut
panco dan bisa diadu? Apa Cuma anak laki-laki yang punya 'panco'? Sehingga
Ilham yang dilihatnya sekarang sedang tertawa sinis karena sudah membayangkan
kemenangan.
"Oke! Siapa takut!" serunya keras
kepala
33 penonton setia itu sejengkal mundur
memberi ruang, seorang bocah berbadan paling besar di antara mereka, Fitra,
mendorong sebuah meja belajar ke tengah. Ilham
makin percaya, anak perempuan seperti Bibis, tidak mungkin bisa menang
adu panco dengannya. Walaupun Bibis tidak tergolong kurus juga tidak lemah di
kelas olahraga, tapi mana mungkin ia yang jago bulutangkis, bisa kalah? Ilham
menyeringai, membayangkan kemenangan, kepahlawanan dirinya dan kepengecutan
Bibis.
Bibis, anak perempuan dengan pipi merona
panas itu, semakin bingung, permainan macam apa yang telah disetujuinya secara bodoh
untuk menjadi babak kesekian yang dilaluinya untuk menarik pembuktian 'siapa
yang terbaik antara Ilham dan Bibis' yang selanjutnya melebar menjadi 'siapa
yang terbaik antara anak perempuan dan anak laki-laki' di kelas itu.
Ilham telah mengambil posisinya, meletakkan
siku tangan kanannya di atas meja dan jemarinya bersiap mencengkram sekuat
tenaga telapak Bibis yang dilihatnya relatif lebih ringkih darinya.
Akhirnya Bibis selesai dari kebingungannya
soal 'adu panco', tersadar dan langsung berjalan dengan gaya percaya diri,
mengangkat wajahnya dan menantang Ilham dengan memunculkan wajah menyebalkan,
tersenyum asimetris, seakan ia akan menang.
Ia tercenung tiba-tiba di depan meja, di
tengah riuh rendah suara teman-temannya yang menyemangati.
"Ini ga syar'i." katanya. Ilham
membangun dirinya dari posisi siap siaga, berdiri.
"Hm," gumam Ilham menyetujui, suasana kelas berubah sunyi.
Beberapa anak berjalan ke tas dan meja mereka
untuk mengambil buku pelajaran hadist shohih.
Faradina, seorang sahabat mereka di kelas itu, langsung membacakan sanad
hadist yang dimaksud Bibis, "La Ayyuth 'ana fii ro'si ahadikum bi
mikhyathi min hadiid khoirullahuu…"
"Min ayyamussa m roatal laa
tahhilulahu…" lanjut Bibis mengandalkan hafalannya dengan percaya diri
walaupun mengandung kesalahan lafal.
"Sekiranya kepala salah seorang di
antara kamu ditusuk dengan senjata tajam, lebih baik dari memegang wanita yang
bukan mahramnya. Riwayat Thabrani dan Baihaqi" perjelas Ilham.
35 anak itu tiba-tiba lemas. Padahal mereka
sangat ingin menyaksikan pertandingan itu.
"10 menit lagi jam main kita selesai,
mending selesain tugas matematika aja, kali ya, shohabati" ujar Ahmad,
ketua kelas mereka.
Setengah dari mereka mengangguk menyetujui.
Bibis menggigit bibir bawahnya menyesal, hadist yang tadi kan bisa disampaikan
belakangan, setelah pertandingan mereka selesai, pikirnya. Sementara Ilham
memegang meja yang di tengah ruangan, berniat mengembalikannya ke posisi
semula, meja itu milik Ghina yang tengah menunggu kelas kembali pulih dari kekacauan.
Sama seperti yang lain. Anak-anak kelas 1B SMP IT Qalbin Saliim tengah
membenahi meja warna-warni mereka dan mulai menarik kursi yang menempel di
langit meja sebelah bawahnya, bersiap mengerjakan tugas matematika seperti
taujihat Sang ketua kelas.
"Kita cari pertandingan syar'I besok,
malam ini kita sama-sama pikirkan dan besok segalanya berakhir, oke, ar rijalu
qowam 'alan nisa !" seru Ilham serius
Bibis mendengus kesal, jiwanya menolak
mendengar kalimat Ilham.
"Emang bibis itu imro'at ya?" kata
Faqih, anak laki-laki berambut keriting itu santai di tengah kesibukannya
membantu teman-temannya membenahi susunan meja mereka.
"Iya, kita kan masih anak kecil, tau,
belum baligh. Al Banaat, tadi sanadnya kan pakenya imro'at" sambut
Faradina menengok ke arah Faqih, bersemangat.
35 anak itu kembali dipersatukan dengan satu
fokus pikir, peperangan Ilham dan Bibis, yang kini keduanya sontak saling
berpandangan, mengumandangkan genderang perang untuk kesekian kalinya. Keduanya
kembali melangkah ke tengah ruangan, Ilham kembali menarik meja Ghina yang di
barisan kedua deret ketiga ke tengah ruangan.
"Beneran?" tanya Ahmad yang mulai
kembali tersita perhatiannya.
"Hontou, hontou" jawab Bibis asal,
mengikut kebiasaan Ummi di rumah
"Surely
!" sahut Ilham serius.
Maka Ahmad beranjak berdiri, meninggalkan
buku matematikanya yang sudah tersibak, berjalan ke tengah ruangan, diikuti
seluruh teman-temannya yang kini kembali membentuk pusaran bocah berseragam
hitam-putih. Ilham dan Bibis sudah saling berhadapan di tengah ruangan, saling
mencengkram, siap melangsungkan pertandingan.
"Oke, a… ba… ta !" aba-aba Ahmad
seketika disambut sorak-sorai yang saling bersahutan dengan semangat.
"Bibis… Bibis… Bibis…" anak-anak
perempuan berteriak nyaring
"Ilham… Ilham… Ilham…" anak-anak
laki-laki tidak mau kalah
Ilham masih terus mencengkram tangan Bibis
tanpa ampun, disana letak strateginya, membuat lawannya habis tenaga sehingga
pertahanannya mudah diruntuhkan. Bibis yang sejak aba-aba Ahmad tadi telah
mengukur kekuatan Ilham, rupanya memang tidak mudah dikalahkan, ia mengambil
strategi meletakkan kekuatannya di batang lengan. Sehingga pertandingan itu
menjadi begitu seru, berkali-kali Ilham hampir menjatuhkan lengan Bibis ke
meja, tapi itu belum berhasil selama tiga menit ini, sementara Bibis baru dua
kali hampir menjatuhkan Ilham dengan tenaga-tenaga sisa.
"Bibisssssss !!!! Bibis… Bibis… Bibis…!" lengkingan itu semakin keras searah dengan lengan Bibis yang
mendominasi Ilham, anak laki-laki di kelas itu jadi terdiam, berdoa dalam hati
agar rekan mereka bisa bangkit dari keterdesakan.
Pada menit keempat di saat para penonton
mulai lelah bersorak dan bulir keringat jatuh dari kedua wajah yang memerah,
Bibis yang sejak tadi diam akhirnya mengerang keras, "Ish !".
"Yeah !" seru Ilham. Menang. Ilham
mampu membalikkan keadaan tepat saat Bibis yakin akan menang. Begitu cepat, barusan lengan Ilham menyerang dengan
kilat sehingga Bibis telat menyadari kekalahannya.
Ilham segera mendapat jabat tangan meriah
dari kawan-kawan sekutunya, sementara Bibis dikerumuni anak-anak perempuan yang
tetap menyemangatinya dengan setia.
"Udah, Bis, gapapa, Al Qur'an kan emang
ga mungkin keliru," ujar Shafiyah sambil menepuk halus bahu Bibis
"Iya, Ar rijalu qowamuna 'alan
nisaa" tambah Khadijah
"Ish, bukan gitu tafsirnya, tau ! Nisaa'
itu kan sebutan buat orang yang udah nikah ! Jadi ya, kalo udah nikah baru bisa
disebut qowam bagi rijal yang jadi suaminya, kayak Ummi sama Abinya Bibis"
kata Bibis asal di tengah emosi, anak perempuan yang mengelilinginya sontak terdiam.
Tercenung, emang ada ya, tafsir kayak gitu? Mereka diam, telah dididik untuk
diam atas hal yang tidak diketahuinya.
Akhirnya Bibis kembali ke tengah ruangan, di
dekat meja yang membuatnya merasa terhina barusan. Masih emosi, ia melabrak
kerumunan anak laki-laki yang berbahagia itu, "Heh, aku bisa ngelakuin hal
yang kalian gak bisa lakuin !"
"Udahlah, kalo udah kalah ya kalah aja
!" jawab Ilham sengit
"Nih !" seru Bibis
Kelas itu benar-benar membeku, tak mampu
memberi tanggapan dan nasehat lagi. Tepat setelah pintu kelas mereka terbuka,
barulah terdengar suara, "Astaghfirullahal'adzim, Bisyaroh….."
Ustadzah Aisyah yang baru masuk segera berseru lemas. Di bias tangkapan retinanya,
Bisyaroh, salah seorang muridnya yang cerdas dan sering berulah itu,
menatapnya dengan takut, rambut hitamnya telah tergerai, kerudung putihnya
dipeganginya sambil gemetar.
Anak-anak segera berpencar, saling membantu
membenahi kelas mereka lagi.
Bibis melangkah ke muka kelas, memberi ruang
bagi teman-temannya, "Mutaassif, Ustadzah, Bibis ga terima
dikalahin Ilham." katanya, sambil menangis.
Ustadzah Aisyah bersegera melangkah,
memakaikan lagi jilbab putih yang telah dijatuhi beberapa bulir basah.
“Ustadzah jangan bilang ke Ummi ya?” sambil
sesenggukan Bibis memohon, matanya menatap wajah Ustadzah Aisyah, memelas.
Dibalas senyum simpul yang menenangkan dan anggukan sederhana, Bibis
berterimakasih, “tapi Bibis harus cerita di rumah nanti ya, ini PR spesial buat
Bibis loh,” tambah Ustadzah dan beranjak menuju mejanya setelah membelai
singkat kepala Bibis yang sekarang telah kembali berjilbab putih. Ia kembali ke
mejanya yang telah rapi dibantu teman-temannya tadi, siap menerima pelajaran
lagi. Sebagian besar anak-anak laki-laki masih geleng-geleng kepala, sementara
Khadijah dan Janna yang duduk di kanan-kiri Bibis, tetap memberikan senyuman
dukungan ketika Bibis melihat mereka satu per satu. Kepalanya masih berpikir
keras. Tidak mau kalah.