Rindu adalah ketika kau tidak
dapat mengambil definisi terbaru soal waktu-waktu. Rindu adalah karena
makna-makna batinmu jadi sekedar menggelayuti ruang-ruang pikirmu. Rindu adalah
karena yang tiada jadi begitu ada, lalu menyalamimu dengan sentakan seketika,
berkata bahwa, ia harus pergi tanpa tangisanmu. Dengan begitu kau jadi menyadari
bahwa kau benar sebegitu rindu padanya.
Hatiku jadi kapas yang dihembus
aliran udara mikrotik. Terbang sekaligus kebasahan. Sirkuit yang butuh
penerangan. Atau semacam mengetahui sesuatu yang tak pernah dibayangkan
sebelumnya. Jadi sendu, biasa memakan kesakithatian sambil pura-pura tidak. Aku
jadi perempuan yang semacam itu, pada akhirnya. Menyembunyikan, sesekali.
Mengapa jadi begitu mahalnya
bicara denganku. Aku bertanya tanpa tanda tanya. Berputar, melintang.
Menerobos, menggelitik, rindu.
Ini soal ilmu bertahan.
--------
Bangunan
putih gaya oldys itu menjulang
mengerikan di hadapanku. Di belakang, kedua orangtuaku tengah berbincang sok akrab dengan seseorang yang semacam
berkedudukan sebagai kepala sekolah disini. Aku akan kembali di “asramakan”.
Begitu katanya, begitu kata mereka.
Ada
sebuah pikiran konyol yang menyelip keluar dari bingkai jendela besar di lantai
tiga itu. Apakah aku bisa melayangkan diri untuk mempraktekkan teori “flying-dragon” yang pernah ku susun
saat di SMA dulu ? Aku, memang butuh tempat semacam ini. Yang tinggi di atas
itu. 25 meter, cukup.
Teori
putaran sentripetal, terbang, terbang ala naga. Terbang lewat tarikan tiga
poros tambang yang disusun sedemikian rupa, sehingga masing-masing di antaranya
membentuk sudut 60 derajat dari tumpuan. Aku hanya butuh busur kayu yang besar,
tali tambang yang panjangnya minimal tiga kali lebar daun jendela itu, juga satu
tali tambang lagi, yang super besar, yang dua kali jarak antar gedung.
Merangkai semalaman, bergerak terbang di pagi hari.
“Kapan
saya mulai bisa tinggal disini ?” ujarku menyela bicara ketiga orang paruh baya
itu.
Ketiganya
menatapku keheranan.
Ayah
membelai kepalaku sambil tersenyum sumringah, lalu menatap mataku dengan
hangat, “Next week,” katanya.
“It’s not a trial, no culpability, no crowd,
no fatality. Standing, no binding.” Ujar ibuku ketus, memalingkan wajah
tirusnnya, menyilangkan kedua tangan di depan.
Aku
mengangguk, lalu berkomat kamit asal ke arah ayah, meledek ibuku yang semacam
nenek sihir. Kami tertawa kecil, paham kode ejekan tingkat tinggi itu. Lalu aku
berharap minggu depan bangunan mengerikan ini tetap seperti ini. Sehingga malam
nanti aku bisa mulai kembali bersiap, menyusun rencana untuk terbang, menjadi
naga yang terbang.
--------
Kamar hotel yang kami sewa ini
tidak begitu luas. Tidak ada sekat selain untuk kamar mandi. Ini bukan pertama
kali kami sekeluarga berada dalam keadaan yang seperti ini. Tapi aku bersyukur
malam ini aku bisa berbaring di sofa sambil ketiduran saat membaca buku tebal
di larut malam. Aku suka jika aku harus tidur di sofa, merasa seakan aku
berkorban begitu besar, menjadi pahlawan. Aku suka jika aku harus larut
tertidur tanpa kusadari, merasa seakan aku seorang pemikir sungguhan. Padahal
tidak. Padahal aku Cuma anak kecil yang berdoa, tidak ada satupun teman
sekelasku yang tahu bahwa aku rata-rata tiga tahun lebih muda dari mereka.
Tidak peduli mereka tahu lewat memperhatikan pertumbuhan postur tubuhku di masa
depan, atau tahu lewat perubahan psikologis yang ku alami. Aku hanya ketakutan,
rahasia ini tersebar dan jadi alat ampuh bagi para raksasa jahat dan truk,
menginjakku maupun melindas cake
coklat blueberry di jalan raya. Maka aku harus bisa terbang. Mulai minggu
depan.
“Aku
suka tempatnya, tapi ini terlalu jauh. How
could I be home ?” Tanyaku setengah berteriak
“You not !” jawab ayah dan ibuku senada,
juga setengah berteriak.
Aku
mendudukan diriku, memeluk punggung sofa, menghadap ke tempat tidur di
belakangku, “Surely?” tanyaku dengan
perasaan hina yang mendalam.
Keduanya
tersenyum seakan begitu bahagia, lalu kembali melanjutkan bacaannya,
melanjutkan bicaranya di telepon genggam. Aku kecewa.
“Mom, do you see my white book on this bag?”
“Just found it on other way.”
“It must be a high-price-book.”
“High-value-book, Dad. I’ll be
one of the most popular with that book.”
“Dragon and fly theory?”
“……”
“You left it on your desk and
said you going to ‘trashed’ it.”
“……”
--------
Seluruh
siswa disini dibebaskan berbusana apapun. Sehingga aku bebas menggunakan
apapun, entah cadar, baju renang atau kostum ruang angkasa. Hari ini aku
mengenakan kostum ruang angkasa. Kelas filologi yang membosankan, tidak ada
sesi perkenalan. Orang-orang yang berbau tidak enak dan mereka tidak memiliki
tambang seperti yang kubayangkan. Kami rupanya, setidaknya, sama-sama anak yang
dibuang orangtua-orangtua kami. Tapi mungkin setidaknya aku lebih parah karena diminta
untuk tidak pulang lewat senyuman ejekan ayah dan ibuku malam seminggu yang
lalu.
Dragon and fly theory masih jadi bab
kesukaanku. Jauh dari omongan filologi yang tidak bisa kucerna lewat jalan
biasa, di kelas berisi 21 orang ini. Rata-rata anak laki-laki di kelasku
berkacamata, sementara semua anak perempuan bergaya berlebihan dengan make-up mereka. Paling sedihnya, tidak
ada yang bisa ku ajak bicara disini. Karena aku memakai kostum ruang angkasa,
sekedar karena itu saja, aku menjadi gadis aneh yang susah di ajak bicara.
Mungkin begitu pikir mereka saat menatapku dengan sinis. Mungkin juga karena
aku memakai helm luar angkasa. Ya, aku tidak peduli, mereka tidak tahu saja
bahwa, kostum ini hadiah ulangtahunku yang keduabelas dan sangat berharga.
Kamar
asrama kami sudah lebih dari hotel dengan kamar mandi di dalam, sendirian. Ini
bukan asrama, kupikir. Tapi plesiran. Minggu depan jika masih juga belum bisa
terbang aku akan menelpon kedua orangtuaku, minta pulang. Tapi kalau sudah bisa
terbang, aku bisa pergi ke mana saja, Negara lain misalnya. Ini sederhana.
Sesederhana mencari gulungan tambang di gudang belakang gedung putih yang
menjulang angkuh.
--------
Entah
bagaimana caranya, singkatnya, pagi tadi gulungan tambang yang ku impikan itu ada di depan pintu kamarku. Di pagi
hari, tanpa selipan pesan apapun, bergelung rapi, terlihat seperti yang
kuinginkan. Ku anggap ini hadiah dari para alien karena aku memakai kostum
ruang angkasa kemarin.
Malam
ini aku akan beraksi. Tugasku yang pertama adalah mengukir sudut 60 derajat di
tiga titik yang berjarak sama. Iya, itu rumusnya, seingatku saja. Entahlah.
Hanya, bahwa, aku belum punya busur yang cukup besar untuk menjalankan misi
yang satu ini.
Asrama ini telah berbau angker
seperti di malam-malam yang lainnya, yang sebelumnya. Tapi setidaknya mistar
ringkih 30 senti berwarna putih yang ku temukan tanpa sengaja di kardus buku
ini lumayan berguna, hitungan sudut itu bisa direkayasa lewat panjang yang
sama, iya, benar itu kuncinya, hanya jadi segitiga yang menahan kaitan tambang
dalam misi melepasku terbang.
--------
Aku rupanya memang bukan seorang
pencerita yang baik. Singkatnya aku telah berada di jendela besar itu di pukul
empat subuh hari. Telah rapi melilitkan tambang di pinggang dan kedua kakiku
sendiri. Aku memang benar bodoh waktu itu, mana bisa terbang dengan kaki
terlilit tambang. Tapi kesadaran itu baru kudapatkan di pukul delapan pagi.
Setelah berteriak sekuat tenaga,
melakukan debuman keras ke tembok asrama dengan seluruh jiwa raga dengan posisi
kaki terbuka ke atas, dan pinggang direkat simpul tambang besar yang
menyakitkan. Ini ketinggian 10 meter.
Intinya aku bisa saja mati, pada
saat itu juga. Ah, tapi belum.
Jika, tali itu lepas dari
simpulnya.
Jika, para guru terlambat
menengok jendela.
Jika, aku kurang teliti mengukur
60 derajat sudut tali-tali yang sama rata itu.
Ah, aku gila bertahan. Melacak soal
cara bertahan. Ilmu bertahan hidup dengan kegilaanku sendiri. Aku baru saja
tersadar, memakai kostum luar angkasa di hari pertamamu di-asramakan, walaupun itu
hadiah dari orangtuamu, bukanlah sebuah ide brilian. Naga terbang. Pohon
berbicara. Alien.
Haha. Ini ilmu bertahan.