Sunday, November 24, 2013

Ilmu Bertahan (Part Two)

Rindu adalah ketika kau tidak dapat mengambil definisi terbaru soal waktu-waktu. Rindu adalah karena makna-makna batinmu jadi sekedar menggelayuti ruang-ruang pikirmu. Rindu adalah karena yang tiada jadi begitu ada, lalu menyalamimu dengan sentakan seketika, berkata bahwa, ia harus pergi tanpa tangisanmu. Dengan begitu kau jadi menyadari bahwa kau benar sebegitu rindu padanya.
Hatiku jadi kapas yang dihembus aliran udara mikrotik. Terbang sekaligus kebasahan. Sirkuit yang butuh penerangan. Atau semacam mengetahui sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Jadi sendu, biasa memakan kesakithatian sambil pura-pura tidak. Aku jadi perempuan yang semacam itu, pada akhirnya. Menyembunyikan, sesekali.
Mengapa jadi begitu mahalnya bicara denganku. Aku bertanya tanpa tanda tanya. Berputar, melintang. Menerobos, menggelitik, rindu.
Ini soal ilmu bertahan.
--------
                Bangunan putih gaya oldys itu menjulang mengerikan di hadapanku. Di belakang, kedua orangtuaku tengah berbincang sok akrab dengan seseorang yang semacam berkedudukan sebagai kepala sekolah disini. Aku akan kembali di “asramakan”. Begitu katanya, begitu kata mereka.
                Ada sebuah pikiran konyol yang menyelip keluar dari bingkai jendela besar di lantai tiga itu. Apakah aku bisa melayangkan diri untuk mempraktekkan teori “flying-dragon” yang pernah ku susun saat di SMA dulu ? Aku, memang butuh tempat semacam ini. Yang tinggi di atas itu. 25 meter, cukup.
                Teori putaran sentripetal, terbang, terbang ala naga. Terbang lewat tarikan tiga poros tambang yang disusun sedemikian rupa, sehingga masing-masing di antaranya membentuk sudut 60 derajat dari tumpuan. Aku hanya butuh busur kayu yang besar, tali tambang yang panjangnya minimal tiga kali lebar daun jendela itu, juga satu tali tambang lagi, yang super besar, yang dua kali jarak antar gedung. Merangkai semalaman, bergerak terbang di pagi hari.
                “Kapan saya mulai bisa tinggal disini ?” ujarku menyela bicara ketiga orang paruh baya itu.
                Ketiganya menatapku keheranan.
                Ayah membelai kepalaku sambil tersenyum sumringah, lalu menatap mataku dengan hangat, “Next week,” katanya.
                “It’s not a trial, no culpability, no crowd, no fatality. Standing, no binding.” Ujar ibuku ketus, memalingkan wajah tirusnnya, menyilangkan kedua tangan di depan.
                Aku mengangguk, lalu berkomat kamit asal ke arah ayah, meledek ibuku yang semacam nenek sihir. Kami tertawa kecil, paham kode ejekan tingkat tinggi itu. Lalu aku berharap minggu depan bangunan mengerikan ini tetap seperti ini. Sehingga malam nanti aku bisa mulai kembali bersiap, menyusun rencana untuk terbang, menjadi naga yang terbang.
--------
Kamar hotel yang kami sewa ini tidak begitu luas. Tidak ada sekat selain untuk kamar mandi. Ini bukan pertama kali kami sekeluarga berada dalam keadaan yang seperti ini. Tapi aku bersyukur malam ini aku bisa berbaring di sofa sambil ketiduran saat membaca buku tebal di larut malam. Aku suka jika aku harus tidur di sofa, merasa seakan aku berkorban begitu besar, menjadi pahlawan. Aku suka jika aku harus larut tertidur tanpa kusadari, merasa seakan aku seorang pemikir sungguhan. Padahal tidak. Padahal aku Cuma anak kecil yang berdoa, tidak ada satupun teman sekelasku yang tahu bahwa aku rata-rata tiga tahun lebih muda dari mereka. Tidak peduli mereka tahu lewat memperhatikan pertumbuhan postur tubuhku di masa depan, atau tahu lewat perubahan psikologis yang ku alami. Aku hanya ketakutan, rahasia ini tersebar dan jadi alat ampuh bagi para raksasa jahat dan truk, menginjakku maupun melindas cake coklat blueberry di jalan raya. Maka aku harus bisa terbang. Mulai minggu depan.
                “Aku suka tempatnya, tapi ini terlalu jauh. How could I be home ?” Tanyaku setengah berteriak
                “You not !” jawab ayah dan ibuku senada, juga setengah berteriak.
                Aku mendudukan diriku, memeluk punggung sofa, menghadap ke tempat tidur di belakangku, “Surely?” tanyaku dengan perasaan hina yang mendalam.
                Keduanya tersenyum seakan begitu bahagia, lalu kembali melanjutkan bacaannya, melanjutkan bicaranya di telepon genggam. Aku kecewa.
                “Mom, do you see my white book on this bag?”
                “Just found it on other way.”
                “It must be a high-price-book.”
                “High-value-book, Dad. I’ll be one of the most popular with that book.”
                “Dragon and fly theory?”
                “……”
                “You left it on your desk and said you going to ‘trashed’ it.”
“……”
--------
                Seluruh siswa disini dibebaskan berbusana apapun. Sehingga aku bebas menggunakan apapun, entah cadar, baju renang atau kostum ruang angkasa. Hari ini aku mengenakan kostum ruang angkasa. Kelas filologi yang membosankan, tidak ada sesi perkenalan. Orang-orang yang berbau tidak enak dan mereka tidak memiliki tambang seperti yang kubayangkan. Kami rupanya, setidaknya, sama-sama anak yang dibuang orangtua-orangtua kami. Tapi mungkin setidaknya aku lebih parah karena diminta untuk tidak pulang lewat senyuman ejekan ayah dan ibuku malam seminggu yang lalu.
                Dragon and fly theory masih jadi bab kesukaanku. Jauh dari omongan filologi yang tidak bisa kucerna lewat jalan biasa, di kelas berisi 21 orang ini. Rata-rata anak laki-laki di kelasku berkacamata, sementara semua anak perempuan bergaya berlebihan dengan make-up mereka. Paling sedihnya, tidak ada yang bisa ku ajak bicara disini. Karena aku memakai kostum ruang angkasa, sekedar karena itu saja, aku menjadi gadis aneh yang susah di ajak bicara. Mungkin begitu pikir mereka saat menatapku dengan sinis. Mungkin juga karena aku memakai helm luar angkasa. Ya, aku tidak peduli, mereka tidak tahu saja bahwa, kostum ini hadiah ulangtahunku yang keduabelas dan sangat berharga.
                Kamar asrama kami sudah lebih dari hotel dengan kamar mandi di dalam, sendirian. Ini bukan asrama, kupikir. Tapi plesiran. Minggu depan jika masih juga belum bisa terbang aku akan menelpon kedua orangtuaku, minta pulang. Tapi kalau sudah bisa terbang, aku bisa pergi ke mana saja, Negara lain misalnya. Ini sederhana. Sesederhana mencari gulungan tambang di gudang belakang gedung putih yang menjulang angkuh.
--------
                Entah bagaimana caranya, singkatnya, pagi tadi gulungan tambang yang ku impikan itu ada di depan pintu kamarku. Di pagi hari, tanpa selipan pesan apapun, bergelung rapi, terlihat seperti yang kuinginkan. Ku anggap ini hadiah dari para alien karena aku memakai kostum ruang angkasa kemarin.
                Malam ini aku akan beraksi. Tugasku yang pertama adalah mengukir sudut 60 derajat di tiga titik yang berjarak sama. Iya, itu rumusnya, seingatku saja. Entahlah. Hanya, bahwa, aku belum punya busur yang cukup besar untuk menjalankan misi yang satu ini.
                Asrama ini telah berbau angker seperti di malam-malam yang lainnya, yang sebelumnya. Tapi setidaknya mistar ringkih 30 senti berwarna putih yang ku temukan tanpa sengaja di kardus buku ini lumayan berguna, hitungan sudut itu bisa direkayasa lewat panjang yang sama, iya, benar itu kuncinya, hanya jadi segitiga yang menahan kaitan tambang dalam misi melepasku terbang.
--------
                Aku rupanya memang bukan seorang pencerita yang baik. Singkatnya aku telah berada di jendela besar itu di pukul empat subuh hari. Telah rapi melilitkan tambang di pinggang dan kedua kakiku sendiri. Aku memang benar bodoh waktu itu, mana bisa terbang dengan kaki terlilit tambang. Tapi kesadaran itu baru kudapatkan di pukul delapan pagi.
                Setelah berteriak sekuat tenaga, melakukan debuman keras ke tembok asrama dengan seluruh jiwa raga dengan posisi kaki terbuka ke atas, dan pinggang direkat simpul tambang besar yang menyakitkan. Ini ketinggian 10 meter.
                Intinya aku bisa saja mati, pada saat itu juga. Ah, tapi belum.
                Jika, tali itu lepas dari simpulnya.
                Jika, para guru terlambat menengok jendela.
                Jika, aku kurang teliti mengukur 60 derajat sudut tali-tali yang sama rata itu.
                Ah, aku gila bertahan. Melacak soal cara bertahan. Ilmu bertahan hidup dengan kegilaanku sendiri. Aku baru saja tersadar, memakai kostum luar angkasa di hari pertamamu di-asramakan, walaupun itu hadiah dari orangtuamu, bukanlah sebuah ide brilian. Naga terbang. Pohon berbicara. Alien.

                Haha. Ini ilmu bertahan.

Thursday, November 7, 2013

Refleksi Koneksitas Kelembagaan Negara dalam Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi


Pergeseran Kekuasaan Eksekutif yang ditulis pada tahun 1977 oleh Ismail Suny telah membuka sebuah pandangan baru mengenai unsur-unsur kefungsian eksekutif yang menguat sepanjang pemerintahan Soeharto. Tokoh Presiden yang memegang kuasa terhadap seluruh derivasi mekanis penyelenggaraan Negara tersebut secara radict banyak menelurkan perundang-undangan yang tidak hanya berbasis pada keterbutuhan eksekutorial namun juga pembentukan norma-norma taktis baru yang tidak pernah dilahirkan oleh DPR RI maupun MPR RI sebagai tonggak fungsi legislative nasional dan dwi manunggal.
     Selanjutnya Pergeseran Fungsi Legislasi yang ditulis Saldi Isra pada tahun 2010 kembali mengemukakan suatu persimpangan dalam fungsi-fungsi kelembagaan Negara yang berada dalam puncak konsepsional. Badan legislatif yakni DPRD RI mengalami suatu blokade tertentu akibat kewenangan presiden dalam rangka merekomendasikan dan mengesahkan suatu produk perundang-undangan. Sehingga renovasi fungsi legislasi dalam sistem pemerintahan Indonesia haruslah bertumpu pada purifikasi sistem presidensial[1].
        Kini dilematika ketatanegaraan rupanya berjalan searah rumitansi yang menumpuk dimana pertalian konkret antara kotom lembaga bodies dan auxalary serba tumpang tindih. Serta entry classif derivasi lembaga konstitutif dan konstitusional juga tidak menemui jalan tengahnya. Koherensi sistem presidensial sebagai pilihan mainstream akademis tidak terinternalisasi dalam perjalanan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi sebagai triadic function NKRI. Hingga saat ini belum ditemukan naskah riset yang merancang format sinergitas sistem presidensial dalam konteks dyad function dengan Mahkamah Konstitusi sebagai representasi triadic function dengan pendekatan positivis – constituendum, menemukan konteks untuk merancang konteks selanjutnya.
Martin Shapiro dalam bukunya Courts mengatakan bahwa kompleksitas yang timbul pada masyarakat modern menghendaki pihak ketiga untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Menurutnya metode penyelesaian sengketa secara triadik ini didasari oleh norma (Konstitusi) yang berfungsi sebagai landasan bersama guna mencari solusi atas persoalan yang dihadapi.[2] Sehingga dalam sistematika kelembagaan Negara konstitusional setidaknya kita mengenal percabangan fungsi strategis di luar eksekutif dan legislative yang diwakili oleh judikasi konstitusi.
        Dengan demikian merujuk pada konsep Negara kesatuan, daulat pemerintahan berikut kelembagaan-kelembagaan turunannya haruslah sejalan dengan paham integrasi dan harmonisasi. Rigitasi lanjutan dalam konteks NKRI, kita dapati bahwa lembaga utama driad system saat ini yakni Presiden dan DPR RI berjalan dalam kerangka system presidensial baik dalam kecendrungan kesejarahan maupun progresifitas purifikasinya. Presidensial menjadi sebuah nalar pangkal dari rangkaian hubungan dan komunikasi mutual antar lembaga Negara. Lalu bagaimanakah ia dapat diterapkan dalam percabangan triadic fungsi judikasi konstitusi?
Mainstream hukum telah menempatkan konsistensi supremasi dalam berbagai alur dan mekanisme, baik secara pandangan doktrinasi maupun tataran legal-konstitutif. Contoh paling populer mengenai konsistensi supremasi hukum dalam pandangan doktrinasi adalah rumus piramida Hans Kelsen dan Hans Naviasky. Yang pada intinya menganggap bahwa suatu norma hukum menempati pos-pos tingkat tertentu yang menentukan klasifikasi tinggi dan rendahnya ruang lingkup dan substansi. Selanjutnya konsistensi supremasi hukum dalam tataran legal-konstitutif dapat di ambil dari logika kelembagaan konstitusional RI, yakni setidaknya suatu lembaga bersifat instruktif terhadap lembaga di bawahnya. Hal ini pula berlaku dalam semua tataran jaringan fungsi Negara termasuk lembaga peradilan yakni Mahkamah Agung. Mahkamah Agung Republik Indonesia yang saat ini menjadi muara dalam hierarki peradilan NKRI pula memiliki satu wewenang kasasi dalam memutus akhir suatu perkara di luar konstitusionalitas.
Dalam pada itu, penyelesaian amandemen UUD N RI 1945 pada rapat paripurna MPR RI tahun 2002, Mahkamah Konstitusi lahir sebagai bagian percitaan yang menemui tangga realitanya. Dimulai pada tahun 2004 mengenai UU Komisi Yudisial para hakim Konstitusi memutuskan untuk menyatakan sebagian ketentuannya batal demi hukum. Maka sederetan putusan kontroversial menemui jaring konklusinya di putusan hakim Mahkamah Konstitusi.
Secara konseptual gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[3] Mahkamah konstitusi dalam konstelasi kelahirannya telah memberikan satu refleksi konkret format konstitusionalitas Juan Linz bahwa supremasi keadilan konstitusional haruslah menjangkau setiap warga Negara, rakyat dan pemerintah. Namun dalam tataran perhubungan fungsi-fungsi konstitutif kelembagaan Negara, Mahkamah Konstitusi wajib kembali dibenahi. Masalah yang menjadi great line adalah bagaimana koherensi internal adjudikasi nasional antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta koherensi eksternal yang berkenaan dengan perhubungan eksekutif dan legislatif dengan Mahkamah Konstitusi dalam bingkai sistem presidensial.
                Seluruh koneksitas mutual yang terjadi dalam tataran kelembagaan nasional tersebut tentunya tidak akan pernah menemui establishment-nya sebelum daulat konstitusional dimaknai kembali sebagai koherensi factual terhadap keberadaan rakyat dan pemerintahnya. Jimly Ashsiddhiqie dalam tulisannya yang disampaikan dalam beberapa seminar hukum nasional menyampaikan bahwa Budaya Sadar Berkonstitusi utamanya menjadi titik tolak strategis dalam kehidupan berbangsa yang beradab. Yakni dimana setiap warga Negara memiliki pemahaman konkret dan actual mengenai keberadaan dirinya. Budaya.


[1] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatnya Model Legislasi Parlementer…, hal 22
[2] Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi : Suatu Studi tentang adjudikasi konstitusional…, hal 46
[3] Ibid, hal 263.