Thursday, October 24, 2013

Insomnia (Part One)

Apakah kamu pernah, suatu ketika, berlindung di balik lemari ruang tamu rumahmu? Suatu hari, menyelinap masuk ke kolong tempat tidurmu? Atau menyembunyikan diri di balik tirai di sisian jendela kaca?

Aku pernah, aku pernah. Berlindung di balik lemari, menyelinap ke kolong tempat tidur, juga bersembunyi di balik tirai. Aku pernah, ya, aku pernah. Kalau kau benar pernah juga melakukannya, kau pasti tahu maksudku, bukan? Iya, kan? Kita tentu pernah sama jadi anak kecil. Kita tentu pernah sama-sama jadi si kecil yang tak mengenal banyak hal. Ya, kita tentu pernah jadi si kecil yang tidak mengenal banyak hal, banyak orang dan melihat segala sesuatunya sebagai yang "lebih besar". Ini fantasiku saja. Tapi, benar, kan?

Semua orang tahu, berlindung, menyelinap dan bersembunyi hanyalah hal yang dilakukan seorang anak kecil. Ya, semua tingkah bodoh yang memalukan dan mengundang kehinaan itu, utamanya hanya dilakukan seorang anak kecil saja. Hebatnya, di dunia kita ini, klausul ke-anakkecilan-an itu juga yang akan menyembuhkan segala kehinaan itu lewat tawa orang dewasa yang penuh kemakluman. Singkatnya, kau bisa saja melakukan hal bodoh, jika ada kemakluman orang sekitarmu. Contohnya, karena kau anak kecil.

Perkenalkan, namaku Voleta Zora. Aku bukan lagi anak kecil yang menyelinap untuk bersembunyi.

--------

Tiba-tiba lukisan jingga di luasnya biru pagi kembali menggila, membuatku tambah gila. Katanya, ia lukisan pinggiran, salah tempo, salah takaran. Memaksa biru membersamainya. Jingga itu, sama. Persis, seperti aku.

Sementara itu, denting piano yang bermain di lantai bawah, seperti biasa, tidak mengagetkanku lagi. Hanya, bahwa, ia selalu berhasil membuatku terjaga, ketakutan. Ya, aku memang baru saja terbangun dari tidur yang sekejap. Tidak biasa tidur malam. Besok-besok kalau sudah bisa punya rumah sendiri, aku tidak akan membiarkan seorang pun menganggu tidurku, dengan nada halus sekalipun.

Aku cuma anak SMA kelas 12. Dan ini adalah liburan kelulusanku. Aku pengangguran. Haha, begitu ku dengar orang-orang menyebutnya.

Ini pukul 3 pagi dan aku harus menuruni tangga untuk mengatakan kalimat basi, "Hey Mom, Hey Dad."

Sepuluh tahun terakhir ini, ibuku gandrung bermain piano. Sementara di sebelahnya, ayahku sekedar menemani, tidak habis-habis memakan semangkok besar koktail kesukaannya. Katanya buah-buahan sangat baik untuk kecerdasan, ah aku tidak tertarik. Keduanya asing di mataku. Kami tak memiliki kemiripan.

Sekedar bahwa, mereka orang metropolitan, bicara sok Inggris dan merasa punya intelegensia tinggi. Sekedar bahwa, mereka tidak bisa tidak melewatkan satu haripun tanpa membaca buku. Bahwa mereka berumur 38 dan 40 tahun, berasa muda, mapan dan angkuh. Aku tidak suka orangtuaku. Mereka mungkin juga sudah lama tidak suka aku. Sepertinya.

"Tidur jam dua lagi? Satu jam?" tanya ayah datar. Di telingaku, nadanya bahkan jadi tanpa tanda tanya. Bahkan lebih dekat ke arah pemastian yang ketus, semacam selurusan nada, "Pasti, kan.".

Aku hanya mengangguk, berlalu. Berjalan selayaknya zombie lalu loncat di anak tangga terakhir, lurus masuk ke ruang makan. Membuka lemari es dan menuang segelas air mineral super dingin. Duduk dan minum, memaknai bahwa, dini hariku adalah dini hari yang begitu dingin, kedinginan.

Denting itu lalu terhenti, "Setelah ini kamu harus kembali di asramakan lagi.", kata Si empunya dengan penekanan khas dirinya. "Kamu-harus-kembali" adalah untaian frase yang begitu gila, hanya milik orang-orang tajam dan angkuh semacam dirinya.

"Asrama macam apa?" tanyaku, lebih tanpa tanda tanya.

"Bisa asrama agama, militer atau apa saja yang sejenisnya. Kebiasaan insomnia seperti itu harus segera dihilangkan, bukan? Mana mungkin seorang anak 14 tahun hidup dengan pola seperti itu."

"Gila." lepas mengatakannya, aku cuma bisa terlanjur tersenyum meremehkan, menggelengkan kepala lalu kembali berjalan gaya zombie ke kamarku lagi. "Mana beethovennya? Suara sumbang." ujarku sengaja menunjukkan ketidakhormatan, di langkah anak tangga pertengahan.

--------

Subuh di Jakarta selalu jadi semilir dingin yang sekejap saja, tidak pernah lama. Aku suka rasa-rasa yang seperti itu. Bahwa membiarkan diri berada dalam sensasi sejuk di kulitmu adalah sesuatu yang selalu menyenangkan, seperti, seakan terangkat ke udara. Aku tidak terlalu suka kota ini, sebenarnya. Aku terlanjur telah banyak disetting; dengan setumpukan kebohongan atas diriku, tanpa aku mengerti.

Sholat di sepanjang keterjagaan karena ketakutan tidak pernah tidak tepat. Dengan demikian aku merasa bahwa ada kekuatan yang tidak terelakkan, untuk selalu dijadikan sandaran. Tanpa kedua orangtua yang menyebalkan juga tanpa ingat bahwa kau begitu kecil. Sebegitunya, sampai segala sesuatunya tampak lebih besar dari diriku, mengerikan, lalu sewaktu-waktu melindasku tanpa ampun, semacam kisah truk kuning dan cake ulangtahun. Bicaraku jadi kacau balau.

Friday, October 18, 2013

Semoga bertambah hikmah atasmu, sahabat yang (baru) kutemui :)

Ya, Allah aku besyukur karena beliau adalah orang yang cerdas dan kuat pendirian. Bahwa ia juga, orang peka dan standby menangkap kejadian-kejadian. Juga, ia begitu dicintai sekian ribu orang yang membersamainya.
Ya, Allah, semoga berlimpah ridhoMu untuk kerja-kerja kami di jalanMu. :)

Lor Ah Soo

Aku semakin yakin bahwa Lor Ah memang bukan padanan kata yang tepat untukmu. Kemarin lalu waktu aku temui, kau terlihat begitu baru, lesu. Berdesah malu-malu.

Sunday, October 13, 2013

Gejala Anonim FH UB : Menyebarkan Fitnah dan Kesalahpahaman, Hindarilah.

Bismillah

Saya tuliskan ini dengan suatu perasaan yang meringis. Entah karena lemahnya ia, atau panah-panah yang mengenainya. Saya masih ingin bicara dengan cinta yang sederhana. Bahasa yang semoga saja mudah dibaca.
Oleh karena hati yang syahdu, ingin lagi bersaudara, bukan karena sesiapa atau berasal darimana.
Oleh karena hati yang sendiri, ingin lagi bergenggaman, menguatkan, bukan karena diberi apa atau mau pergi kemana. Siapa saja.

Saya sadari bahwa, hidup ini begitu singkatnya. Tidak ada waktu untuk bercanda, sebenarnya, sebab canda itu sudah klausul matematisnya duniawi, dunia kita sekarang ini. Canda-canda jalanan ibukota Jakarta, di kerlip malam inipun, sama saja. Bikin menggigil sekujuran tubuh saya, bikin biru bibir yang coba terbasahi kalimat-kalimat doa, sekuat tenaga.
Agar perasaanku yang tiba-tiba meringis ini terobati, agar terdengar dengan seksama, bahwa aku tak mengambil jeruji-jeruji untuk bohong padamu, atau pada diriku.

Saya tidak ingin membela sebarisan kata yang tak pantas dibela, sebarisan kata yang bukan pula buatan saya, buatan orang-orang di UMM waktu kongres dulu, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.
Bukan, bukan frase ini yang akan saya bela. Saya telah meninggalkannya, sesegera setelah saya mendapatkan yang lebih darinya. Ketenangan hati, kekuatan, alasan yang nyata, gairah berkarya.

Iya, ini hanya tentang budaya yang menggejala dan menyakiti yang lainnya. Soal mereka yang bilang membela suatu idea, tapi, maaf, dalam pandangan saya, justru mengotorinya. Pro Justicia tidak dibela dengan fitnah, Pro Justicia hidup dengan baris-baris yang sistematis, gamblang, dan tentunya, tidak anonim. :)

Saya, jujur saja, tidak biasa berkata yang dilembut-lembutkan. Saya orang yang keras, keras dalam mengambil pilihan, biasanya, keras juga dalam mengambil diksi-diksi. Karena kehidupan bagi saya telah mengajarkan banyak keteguhan. Di tengah sini, saya mohon maaf atas kata-kata yang mungkin menyakiti hati. Saya hanya yakin bahwa cinta adalah konsep bicara apa adanya. Maka, ya, beginilah. :)

Jika kita cinta Fakultas Hukum, marilah sama berkarya lewat namanya. Bawa ia kemana-mana, bersama-sama. Jangan pandang benci yang sedikit 'berbeda'. Ayo berkenalan.
Jika kita benar segitunya membela Pro Justicia, marilah sama adil pada nurani. Jelajahi hati sampai ke sisi-sisinya. Kalau merasa ada masalah, buka bicara pada semua, audi et alterram partem, jika tidak, tidak bicara tentang yang tidak diketahuinya. Ini jiwa hukum bukan?
Jika benar, dari hati dan kesadaran terdalam, nyata-nyata berkata, Hukum Bersatu Tak Bisa Dikalahkan, marilah sama-sama saja membuka senyuman, jangan hanya lewat di bibir saja. Pembuktian.
Saya sekedar merasa perlu menyitir keadaan miris, menjalankan sebuah proyek sederhana di DSM, ada pihak yang merasa sudah sungguh-sungguh? Ada yang sudah merasa sangat penuh integritas?  Yang mana yang @FHBrawijaya? Mana bukti?

Gejala dan praktek perkambinghitaman memang selalu marak setiap kita akan mengakhiri semester ganjil.
Menyesakkan sekali mengetahui bahwa, masih begini gaya-gaya "cari perhatian publik" di kampus kita. Masih pecundang seperti ini, main belakang, pseudonim, semi, yo tetep anonim !

Jangan, jangan sampai karena dengkimu, menyakiti yang kau katakan "Hukum Bersatu tak Bisa Dikalahkan" bukan?

Saya tidak ingin main drama, ini bukan drama-drama-an. Bukan picisan.

Ayo, duduk bicara dan atur kepahaman, agar lega hatiku dan hati kita semua.
Saya kembali katakan, anak KAMMI tak sebanyak hegemoni kader HMI atau anggota PMP hukum Brawijaya. Jadi jangan takut kami 'menguasasi' dan membelakangi almamater kita. KAMMI tak pernah sebegitu nafsu untuk cari tahta dunia. Ini soal perimbangan, keadilan bagi setiap kebijaksanaan. Kebijaksanaan kami, Islam yang rahamatan lil 'alamin, insyaAllah. Yang dengan inilah orang-orang KAMMI ketika memimpin, yang dengan inilah mereka dibekali, habis itu lepas, tak boleh gila nama dan label.

Tapi sakit juga ketika disalahpahami, pula disebar-sebarkan kesalahpahaman tentang kami ke banyak orang, hingga jadi fitnah yang menghitamkan apa yang putih, memunculkan prasangka tanpa bukti, juga kilas pemahaman tanpa tanya-jawab yang berakal. Innalillahi.

Saya hanya pernah tiga kali mengajak orang masuk KAMMI, 2 ditolak, satunya berangkat. Oleh karena kami sadari, tak banyak orang yang akan membersamai kami di jalan ini. Sebab bukan nama yang kami bela, bukan organisasi belaka, tapi kepahaman, kemunculan tunas-tunas harapan bangsa. Yang dekat dengan Tuhannya, juga pandai mengaji, sadar jiwa dan fitrahnya, sekedarnya, sekedar itu saja.

Ya Allah, faghfirlanaa, innaka anta samii'ud du'aa.