Apakah kamu pernah, suatu ketika, berlindung di balik lemari ruang tamu rumahmu? Suatu hari, menyelinap masuk ke kolong tempat tidurmu? Atau menyembunyikan diri di balik tirai di sisian jendela kaca?
Aku pernah, aku pernah. Berlindung di balik lemari, menyelinap ke kolong tempat tidur, juga bersembunyi di balik tirai. Aku pernah, ya, aku pernah. Kalau kau benar pernah juga melakukannya, kau pasti tahu maksudku, bukan? Iya, kan? Kita tentu pernah sama jadi anak kecil. Kita tentu pernah sama-sama jadi si kecil yang tak mengenal banyak hal. Ya, kita tentu pernah jadi si kecil yang tidak mengenal banyak hal, banyak orang dan melihat segala sesuatunya sebagai yang "lebih besar". Ini fantasiku saja. Tapi, benar, kan?
Semua orang tahu, berlindung, menyelinap dan bersembunyi hanyalah hal yang dilakukan seorang anak kecil. Ya, semua tingkah bodoh yang memalukan dan mengundang kehinaan itu, utamanya hanya dilakukan seorang anak kecil saja. Hebatnya, di dunia kita ini, klausul ke-anakkecilan-an itu juga yang akan menyembuhkan segala kehinaan itu lewat tawa orang dewasa yang penuh kemakluman. Singkatnya, kau bisa saja melakukan hal bodoh, jika ada kemakluman orang sekitarmu. Contohnya, karena kau anak kecil.
Perkenalkan, namaku Voleta Zora. Aku bukan lagi anak kecil yang menyelinap untuk bersembunyi.
--------
Tiba-tiba lukisan jingga di luasnya biru pagi kembali menggila, membuatku tambah gila. Katanya, ia lukisan pinggiran, salah tempo, salah takaran. Memaksa biru membersamainya. Jingga itu, sama. Persis, seperti aku.
Sementara itu, denting piano yang bermain di lantai bawah, seperti biasa, tidak mengagetkanku lagi. Hanya, bahwa, ia selalu berhasil membuatku terjaga, ketakutan. Ya, aku memang baru saja terbangun dari tidur yang sekejap. Tidak biasa tidur malam. Besok-besok kalau sudah bisa punya rumah sendiri, aku tidak akan membiarkan seorang pun menganggu tidurku, dengan nada halus sekalipun.
Aku cuma anak SMA kelas 12. Dan ini adalah liburan kelulusanku. Aku pengangguran. Haha, begitu ku dengar orang-orang menyebutnya.
Ini pukul 3 pagi dan aku harus menuruni tangga untuk mengatakan kalimat basi, "Hey Mom, Hey Dad."
Sepuluh tahun terakhir ini, ibuku gandrung bermain piano. Sementara di sebelahnya, ayahku sekedar menemani, tidak habis-habis memakan semangkok besar koktail kesukaannya. Katanya buah-buahan sangat baik untuk kecerdasan, ah aku tidak tertarik. Keduanya asing di mataku. Kami tak memiliki kemiripan.
Sekedar bahwa, mereka orang metropolitan, bicara sok Inggris dan merasa punya intelegensia tinggi. Sekedar bahwa, mereka tidak bisa tidak melewatkan satu haripun tanpa membaca buku. Bahwa mereka berumur 38 dan 40 tahun, berasa muda, mapan dan angkuh. Aku tidak suka orangtuaku. Mereka mungkin juga sudah lama tidak suka aku. Sepertinya.
"Tidur jam dua lagi? Satu jam?" tanya ayah datar. Di telingaku, nadanya bahkan jadi tanpa tanda tanya. Bahkan lebih dekat ke arah pemastian yang ketus, semacam selurusan nada, "Pasti, kan.".
Aku hanya mengangguk, berlalu. Berjalan selayaknya zombie lalu loncat di anak tangga terakhir, lurus masuk ke ruang makan. Membuka lemari es dan menuang segelas air mineral super dingin. Duduk dan minum, memaknai bahwa, dini hariku adalah dini hari yang begitu dingin, kedinginan.
Denting itu lalu terhenti, "Setelah ini kamu harus kembali di asramakan lagi.", kata Si empunya dengan penekanan khas dirinya. "Kamu-harus-kembali" adalah untaian frase yang begitu gila, hanya milik orang-orang tajam dan angkuh semacam dirinya.
"Asrama macam apa?" tanyaku, lebih tanpa tanda tanya.
"Bisa asrama agama, militer atau apa saja yang sejenisnya. Kebiasaan insomnia seperti itu harus segera dihilangkan, bukan? Mana mungkin seorang anak 14 tahun hidup dengan pola seperti itu."
"Gila." lepas mengatakannya, aku cuma bisa terlanjur tersenyum meremehkan, menggelengkan kepala lalu kembali berjalan gaya zombie ke kamarku lagi. "Mana beethovennya? Suara sumbang." ujarku sengaja menunjukkan ketidakhormatan, di langkah anak tangga pertengahan.
Sepuluh tahun terakhir ini, ibuku gandrung bermain piano. Sementara di sebelahnya, ayahku sekedar menemani, tidak habis-habis memakan semangkok besar koktail kesukaannya. Katanya buah-buahan sangat baik untuk kecerdasan, ah aku tidak tertarik. Keduanya asing di mataku. Kami tak memiliki kemiripan.
Sekedar bahwa, mereka orang metropolitan, bicara sok Inggris dan merasa punya intelegensia tinggi. Sekedar bahwa, mereka tidak bisa tidak melewatkan satu haripun tanpa membaca buku. Bahwa mereka berumur 38 dan 40 tahun, berasa muda, mapan dan angkuh. Aku tidak suka orangtuaku. Mereka mungkin juga sudah lama tidak suka aku. Sepertinya.
"Tidur jam dua lagi? Satu jam?" tanya ayah datar. Di telingaku, nadanya bahkan jadi tanpa tanda tanya. Bahkan lebih dekat ke arah pemastian yang ketus, semacam selurusan nada, "Pasti, kan.".
Aku hanya mengangguk, berlalu. Berjalan selayaknya zombie lalu loncat di anak tangga terakhir, lurus masuk ke ruang makan. Membuka lemari es dan menuang segelas air mineral super dingin. Duduk dan minum, memaknai bahwa, dini hariku adalah dini hari yang begitu dingin, kedinginan.
Denting itu lalu terhenti, "Setelah ini kamu harus kembali di asramakan lagi.", kata Si empunya dengan penekanan khas dirinya. "Kamu-harus-kembali" adalah untaian frase yang begitu gila, hanya milik orang-orang tajam dan angkuh semacam dirinya.
"Asrama macam apa?" tanyaku, lebih tanpa tanda tanya.
"Bisa asrama agama, militer atau apa saja yang sejenisnya. Kebiasaan insomnia seperti itu harus segera dihilangkan, bukan? Mana mungkin seorang anak 14 tahun hidup dengan pola seperti itu."
"Gila." lepas mengatakannya, aku cuma bisa terlanjur tersenyum meremehkan, menggelengkan kepala lalu kembali berjalan gaya zombie ke kamarku lagi. "Mana beethovennya? Suara sumbang." ujarku sengaja menunjukkan ketidakhormatan, di langkah anak tangga pertengahan.
--------
Subuh di Jakarta selalu jadi semilir dingin yang sekejap saja, tidak pernah lama. Aku suka rasa-rasa yang seperti itu. Bahwa membiarkan diri berada dalam sensasi sejuk di kulitmu adalah sesuatu yang selalu menyenangkan, seperti, seakan terangkat ke udara. Aku tidak terlalu suka kota ini, sebenarnya. Aku terlanjur telah banyak disetting; dengan setumpukan kebohongan atas diriku, tanpa aku mengerti.
Sholat di sepanjang keterjagaan karena ketakutan tidak pernah tidak tepat. Dengan demikian aku merasa bahwa ada kekuatan yang tidak terelakkan, untuk selalu dijadikan sandaran. Tanpa kedua orangtua yang menyebalkan juga tanpa ingat bahwa kau begitu kecil. Sebegitunya, sampai segala sesuatunya tampak lebih besar dari diriku, mengerikan, lalu sewaktu-waktu melindasku tanpa ampun, semacam kisah truk kuning dan cake ulangtahun. Bicaraku jadi kacau balau.