Wednesday, June 18, 2014

Frozen

Love is an open door, with you.
I’d never meet someone who thinks so much like me.
                Saya baru saja menyadari bahwa ada suatu alasan krusial yang membuat anak – anak perempuan kita saat ini begitu ter-obsesi dengan romansa. Mekanisasi film Barbie telah mencoba memberi sebuah design yang sangat dekat dengan khayalan. Di bandingkan dengan kisah shohabiyah dan begitu berilmunya para muslimah, visualisasi tentang menikahi pangeran baik hati lebih deras dan memiliki kekuatan dalam imaji mereka.
                Sayangnya, termasuk saya. Wkwkwkwk.
                Saya berpikir bahwa di masa depan, jika Allah menghendaki, akan semakin banyak generasi yang lahir dari akar keluarga yang lebih baik lagi. Jika saat ini saya sebagai aktivis pergerakan Islam terlahir sebagai anak yang dulunya punya masa kejahiliahan begini dan begitu, di masa depan, kisah hijrah seperti saya dan kawan – kawan saat ini mungkin akan semakin sedikit. Karena mereka di masa depan dididik bukan dengan visualisasi putri dan pangeran atau judi – judi halus permainan bola, tapi hafalan dan kisah – kisah hikmah.
                Malam ini saya menuliskan lagi racauan. Kaku lagi merangkai pasca membiarkan laman blog ini disihir jadi kenangan. Haha. Entahlah. Hanya, bahwa, terimakasih untuk “keberkahan”, sahabat yang nge-promote film Frozen yang akhirnya saya dapet dari anak kontrakan.

                “Keberkahan” selalu lebih baik dari siapapun juga, bukan?

Menjadi Berarti (Part Nine)

               Seperti yang pernah kutanyakan sebelumnya padamu, apa yang paling menyibukanmu dalam hidup ini ? Apakah sekolah, pekerjaan, keluarga, atau sahabat ? Juga seperti yang pernah ku sampaikan padamu sebelumnya, bagiku semua hal itu tak menarik. Aku mungkin termasuk orang yang tak banyak bersyukur hingga tidak terlalu tahu mau melakukan apa di dunia ini.
                Baru – baru ini aku heran dengan orang yang begitu penuh semangat. Melakukan kerja-kerja berat untuk menyelesaikan kuliah dengan cepat. Juga orang-orang yang melakukan apapun untuk mendapatkan pernikahan impian. Juga orang yang begitu punya banyak energi melakukan maneuver politik. Rasanya hambar bagiku. Mengapa mereka bisa begitu bersemangat?
--------
                Ada seorang anak perempuan yang memikat hatiku. Setiap kata – katanya adalah penghiburan bagiku. Melihatnya membuatku merasa bahwa aku tak sebegitu menyedihkan, karena ia mempercayaiku. Namanya Bisyaroh.
                Umurnya delapan tahun, baru saja naik kelas tiga SD. Bisyaroh yang biasa kupanggil Bibis adalah anak perempuan yang cemerlang. Aku terutama suka padanya karena ia begitu menyukaiku. Mungkin karena ia tidak punya saudara kandung perempuan. Bibis begitu manja setiap kami bertemu, memeluk dan memegangi tanganku.
                Ayahnya adalah orang kaya yang kupikir tidak perlu lagi banyak khawatir. Ibu di keluarga itu adalah perempuan paruh baya yang cantik dan murah hati. Kedua anak laki – laki mereka menempuh kuliah pendidikan dokter dengan brilian. Aku sesekali berpikir untuk hidup seperti itu di masa depan. Setiap kali berkunjung ke rumah mereka untuk bicara soal lalu lintas uang antara kantongku dan kantong ayah mereka. Sesekali. Sebuah kehidupan yang indah.
                Setiap dari mereka adalah orang yang berarti. Sebab ketiadaan salahsatunya menjadi beban yang begitu berat untuk sanggup ditanggung masing – masing mereka. Keluarga itu saling mencintai. Sesederhana itu saja.
                Oleh karena cinta, ayah bekerja keras. Oleh Karena cinta, ibu menjadi wanita yang begitu lembut dan menenangkan. Oleh karena cinta, anak – anak mereka menjadi begitu menyenangkan untuk dipandang.
                Maka kupikir ada baiknya saling menghargai dan mencintai. Lalu kita akan segera tahu apa yang ingin kita lakukan. Juga alasan untuk menjadi bersemangat. Sebab ada sebuah perasaan yang berarti. Menganggap penting antara satu dengan lainnya. Itu menjadikan segalanya begitu berarti.
--------
                Bibis kembali menginap di kamarku. Seperti biasa, kami akan tertawa semalaman. Belajar matematika, main scrabble, nonton kartun, bercanda, makan cemilan. Besok memang bukan hari sabtu atau minggu tapi kedua oranngtua Bisyaroh selalu membolehkan anaknya menginap denganku. Mungkin karena mereka begitu percaya padaku juga lebih tepatnya karena tidak bisa melihat Bibis berlama-lama meng-iba tidak mau melepaskanku saat pamit dan beranjak pulang.
                Aku tidak tahu bahwa saat ini aku bisa juga dekat dengan anak kecil. Aku sebenarnya bukan tipe perempuan yang suka sok tahu menunjukkan kasih sayang kepada anak orang. Aku mulai jijik dengan tindakan semacam itu sejak tahu bahwa anak – anak perempuan di kelas 1 SMP dulu beranggapan bahwa itu adalah tanda kedewasaan, sifat keibuan. Aku seperti yang kukenal, bukan orang seperti itu.
                Tapi Bisyaroh memang anak yang cerdas. Sekedar bahwa, ia mengajariku tentang bercita – cita. Katanya ia ingin menjadi sepertiku. Belajar dengan keras agar bisa masuk fakultas hukum dan menguasai beberapa bahasa. Lalu berusaha ikut program akselerasi di SMP dan SMA agar bisa menjadi mahasiswa baru pada umur 15 tahun. Bisyaroh mungkin tidak tahu bahwa itu bukan suatu kebanggaan bagiku seperti yang orang – orang sangkakan terhadapku.
                Apa aku harus juga bercita – cita?
                Apakah aku harus juga berusaha jadi seperti seseorang? Menargetkan diriku untuk melakukan ini dan itu pada umur segini dan segitu. Apakah aku harus?
                Maka aku ingin menjadi seorang pimpinan lembaga intelijen nasional. Kehidupan seorang intelijen sepertinya paling tepat untuk ku jalani. Sebab jika itu seperti apa yang diceritakan orang – orang dalam film – film, maka aku siap untuk tidak menjadi diriku dalam tugas – tugas kenegaraan. Bukankah itu sangat patriotik? Aku tidak bisa menemukan diriku dan sebagai gantinya aku begitu berguna. Aku harus lulus dari fakultas hukum, memimpin lembaga kajian kebijakan publik untuk memahami peta politik internasional, nasional dan daerah. Lalu menjadi berpengaruh dan menunggu di rekrut Presiden, kemudian menjabat kedudukan politik di lembaga intelijen nasional. Aku meracau.
Hanya, bahwa aku ingin bisa menemukan petualanganku sendiri karena aku tidak akan begitu dicintai. Allah pastilah telah mengatur bagaimana hidupku tahun – tahun depan, sebagaimana Ia-lah Yang Maha Mengatur hidupku di tahun – tahun sebelum ini, pada kenyataanya, aku tidak memiliki cita – cita apapun. Aku selama ini, hanya menyelesaikan masalah – masalah agar aku bertahan hidup, kurasa, seperti itulah aku juga di masa depan.

                Aku rupanya belum juga jadi pembelajar yang baik terhadap setting kehidupan keluarga Bisyaroh yang mempesonakanku. Juga belum jadi murid yang baik dalam bercita – cita layaknya Bisyaroh. Untuk bersyukur dan menjadikan segalanya begitu berarti. Sebenarnya itu hanya keserakahan saja, kupikir.

Sunday, May 18, 2014

Keliru

Mengapa berbeda?
Ku katakan bahwa aku selalu nyaman saja untuk bersamamu. Benar bahwa betapa aku sesederhana itu saja senang bisa saling bicara denganmu. Mengapa kita harus berbeda?
Tentang pola pikirku, pikirmu, pilihanmu, lalu pilihanku, sikapku, sikapmu, cara bicara masing-masing kamu dan aku. Juga keimanan kita.

Aku hanya sekedar berharap bahwa esok hari kau datang mau mengalah padaku. Begitu saja. Kau rupanya juga berharap aku yang datang mengalah padamu. Sama saja keliru. Begitu saja.

Saturday, January 18, 2014

Wangi Langit

Wangi langit bicara soal pulasan. Ia tak pernah suka terlalu terbuka. Cerita yang disyairkannya adalah rona-rona romantika saja.

Suatu kali saat langit mengantar wanginya ke bumi, kita akan seketika berwarna jingga. Jadi tarian di derivan kuning dan merah. Sempurna. Polesannya adalah kegembiraan. Wangi langit bicara fajar dan guratannya yang sebentar.

Ah, aku suka mencium wangi langit. Karena bersihnya bersahaja. Gelap terang tanpa dialogika. Satu sampai empat kali saja, ia ganti pulasannya dalam detak hari-hari.

Wangi langit yang biru kadang juga pergi basi bersama si putih. Gila dia. Bawa lari pallet demarkasi hitam untuk bintang-bintang. Katanya itu tanda wangi langit tak ingin disentuh-sentuh, tak ingin di gapai-gapai, coba lari dari mendung dan jelang temaram.

Wangi langit adalah pulasan satu sampai empat. Disana diantarkan wangi kalut dan gelisahnya jiwaku di penghujung kota lain. Sebab wangi langit tak pernah suka terlalu terbuka. Bagian romantikanya saja.

Tapi aku paling suka wangi langit.

Friday, January 10, 2014

Recreance

Kita akan berhenti pada satu titik dimana terungkap semua jawaban. Tidak lagi ada kepedulian pada yang lainnya. Tidak ada lagi kata-kata mesra untuk siapa.

Kasih sayangku adalah untuk diriku. Pola pikirku jadi henti pada keselamatanku. Pengkhianatanmu padaku jadi tak menyakitkan lagi.

Pada saat itu kau tak akan mengingatku. Tidak ada lagi simpanan di bilik hatimu tentang, bahwa, sebenarnya, kau tak suka aku.

Mungkin yang ku katakan cuma representasi kotornya hatiku saja. Bahwa kau mengatakan sesuatu di belakangku adalah tanda bahwa aku terlalu kaku. Bahwa suatu hari dimana berpisah pandang antara kau dan aku, kita tak akan lagi saling mengenal. Karena hari itu.

Dicabutlah ruh ku. Dicabutlah ruh mu.
Tinggalah segala kefanaan.

Aku tak ingin, putus diri dari keselamatan kau. Dari keselamatan ku.

Thursday, January 9, 2014

Everybody Hurts Someday

Inget banget waktu jaman gue masih agak kecilan dari sekarang, gue pernah ngupdate laman blog pake videonya avril lavigne yang Wish You Were Here or whatever lah. Haha. Gila, gue berasa alay banget.
Tapi sekarang, gue nyadar kecendrungan konyol kayak gitu emang tetep ada. Beberapa waktu nemu lagunya avril lagi, yah, gue jadi ngerealize konteks hidup lagi. Semacam, balik ke kealayan gue dulu. Ah, gapapa lah. Express.


Beberapa orang pernah bilang, kalo kita akan dibersamai sama orang yang memang sejalan sama perjuangan kita. Baik dalam level ketahanan atau pemahaman. Karena emang kayak gitu sistem perjodohan dunia.
Maksud gue, bukan 'perjodohan' yang sempit aja, tapi soal ketemu sama orang yang dalam konteks apa aja.
Mereka bilang, kita kuat membersamai orang yang jalan perjuangannya emang pantes buat kita. Orang-orang juga kuat membersamai kita karena emang dia jodoh buat kita di jalan itu.

Tapi bagi gue premis itu nggak sepenuhnya bener. Ya, nggak salah juga.

Ini bukan sekedar tentang maqam, tapi emang, jalan yang spesifik. Suatu jalan politik komposisi Yang Maha Kuasa. Semoga terkuatkan.

Yang tidak bertemu lagi, yang akan sulit bicara tentang hal yang sama lagi. Karena akan terus ada yang baru menemui, yang akan bicara tentang hal yang sama. :')

Thursday, December 26, 2013

Setidaknya (Part Three)

                    Hal apa yang paling menyibukanmu dalam hidup? Apakah pekerjaan? Keluarga? Sekolah?
                Bagiku tidak semua dari itu menarik untuk dijadikan kesibukan. Aku rasa-rasanya tidak suka dengan semua hal yang kutemui. Terlebih kau.
                Bicara denganmu bisa membuatku harus berusaha keras menjadi orang lain. Mengetahui keberadaanmu cuma menambah sakit kepalaku saja. Senyummu itu tidak berguna selain menjadi tambahan alasan bagiku untuk membencimu. Dan seluruh orang di dunia. Aku tidak suka kau tersenyum sambil berpikir ini hiburan bagimu. Karena semua orang yang kutemui selalu berpikiran begitu.
--------
                Ini Pegunungan. Sebuah kota yang begitu aneh. Disini tidak terlalu banyak orang tinggal. Setidaknya tidak bila dibandingkan dengan Jakarta. Ini kota Batu. Pertengahan antara Kota Malang dan Kabupaten Malang. Jawa Timur, timurnya pulau Jawa.
                Aku bersyukur dapat kembali ke tempat semacam ini. Setidaknya ini lebih segar daripada di pantai. Aku tidak suka ke pantai, terlebih liburan akhir tahunku selalu di isi dengan pergi ke pantai bersama orang-orang bodoh sekelas. Tidak di Jakarta, tidak disini, aku tidak suka pantai, membuatku terobsesi untuk ditelan keserakahan alam saja. Semacam gelombang lautan yang menyeret ke tengah pusaran. Sebab sejak aku lahir, aku hanya kenal keserakahan manusia yang mengunyahku hingga serpihan.
                Ini berlebihan.
                Setidaknya sekarang aku tidak sendirian.
                “Voleta Zora.” Ujarnya.
                “Vincent Zoe.” Balasku, “Ternyata seperti ini rasanya bicara dengan saudara kandung.”
                Kami benar-benar duduk di pinggir jurang seperti yang pernah kulakukan tiga tahun lalu, di tempat ini.
                “Apakah kita kembar?” tanyaku.
                Zoe tersenyum lebar, lalu menyeruput lagi secangkir besar cappuccino-nya. Ia menggeleng, “menyedihkan sekali, adik. Don’t you really like a fool? Apa saja yang di ajarkan ibumu selama ini?”
                “Kalau begitu jarak kelahiran kita pasti ga lebih dari setahun.”
                “Kenapa?”
                “Lo tuh keliatan lebih bego dari gue.”
                Matanya membelalak, menatapku, speechless rupanya.
--------
                Mau bagaimanapun aku memang lebih bisa di andalkan daripada Zoe. Aku punya poin IQ lebih tinggi darinya. Aku mulai terbiasa mengurus usaha ibuku yang tanpa belaskasih itu sejak masuk perkuliahan. Kelebihanku yang paling utama, aku bisa bekerja sendiri, aku tidak punya orang kepercayaan yang sewaktu-waktu dapat merutukiku di belakang atau menusukku saat lengah.
                Tapi ini tidak adil.
                Karena Zoe jago beladiri. Ia mengurus sahamnya di bawah bimbingan ayah sejak ia berumur 10 tahun. Ia punya segerombolan laki-laki pecundang sebayanya yang dipercayainya dalam banyak hal. Setidaknya Zoe juga punya kulit wajah yang lebih cerah dariku. Ia tidak perlu mengalami masa kanak-kanak dimana para ibu begitu mengkhawatirkan kulit sensitif anaknya meradang sehingga memakaikan begitu banyak anti-UV yang malah membuat pigmen kulit transisi warna.
                Setidaknya saat ini Zoe bisa menemui ayah ketika pulang ke Singapur sementara aku tidak dapat menemukan ibu dimanapun sejak hampir 6 tahun terakhir ini. Aku tidak tahu.
                Aku memang selalu jadi orang yang ditinggalkan. Saat ini, kemarin lalu maupun di masa depan. Setidaknya aku lebih dapat di andalkan. Aku tidak seperti Zoe, saudaraku. Dia manja dan sok tahu.
--------
                Jalan menuju Kota Malang hanya lurus saja. Setelah kami singgah sholat maghrib di Masjid besar di persimpangan jalan protokol. Aku berencana untuk tidur saja, membiarkan Zoe menyetir sendirian. Aku sudah cukup tersakiti seharian ini, mendengarkan kabarnya yang 18/19 tahun terakhir ini.
                Sebenarnya aku masih berkeyakinan kami kembar tapi Zoe bilang, itu tidak mungkin. Ia punya dua akte kelahiran, yang satunya bertuliskan tahun 1994 dan satunya 1995. Sementara aku punya tiga akte kelahiran, bertuliskan tahun 1992, 1994, dan 1995. Tapi tanggal lahir kami tidak ada yang sama. Jadi Zoe yakin bahwa aku kelahiran 1995 sementara ia 1994 karena di tahun 1992 menurutnya orangtua kami belum bertemu. Siapa yang tahu? Dia memang sok tahu.
                Seperti itulah Zoe, rambutnya lurus hitam potongan cowok standar. Kulit langsat cerah, mata sipit tanpa lipatan kelopak yang sama sepertiku, khas keturunan orang Cina. Dia punya jaket mahal, jeans dan handphone limited edition yang hanya bisa langsung dibeli di Finlandia. Zoe orang kaya, tidak sepertiku. Zoe bilang itu wajar, karena aku dibawa ibu sementara ia dibawa ayah. Seorang lelaki lebih bisa bertanggungjawab soal bagaimana menghasilkan uang, bagaimanapun juga, katanya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, lalu memalingkan wajah darinya. Kurang ajar. Mungkin lainkali aku harus membalas dendam untuk ucapan sembrono-nya itu.
                Dia tentu tidak pernah berpikir bahwa aku begitu muak dengan uraiannya soal hidup makmur tanpa telepon berisik yang menagih hutang sekaligus updating harga bunga searah putaran jual beli kurs mata uang. Aku bisa gila.
                “Ayah pernah cerita soal gue?”
                Zoe menggeleng. Lalu meneruskan kembali pijakan kaki kanannya di pedal gas, kami terjebak macet di jalan yang sekedar lurus ini. Sama seperti kebanyakan manusia, macet di jalan lurus, saling berdesakan, sempalan.
                “Sama sekali ga pernah?”
                “Katanya mau tidur, dik.”
                “Kok bisa ya, mereka berdua sehebat itu. Ibu juga ga pernah ngomong-ngomong soal elo.”
                “Call me kakak, abang, mas? Big-brother, or else?” Zoe tersenyum sok dewasa. Aku jadi tambah muak.
                “What a really nonsense.” Lalu aku terdiam.
                Beberapa kenangan masa laluku semburat mengalir. Bagaimana aku dikirim ke asrama yang sangat jauh dari rumah sejak masa kecilku. Bagaimana aku pulang ke rumah dan semua orang mengatakan bahwa ibuku telah pergi dengan hanya meninggalkan sepaket tumpukan kertas di atas meja belajarku. Bagaimana aku memarahi orang yang jauh lebih tua dariku di setiap rapat yang ku pimpin. Bagaimana aku menghadapi pegawai bank. Bagaimana orang lain menggantikan ibuku lalu berpura-pura jadi kedua orangtuaku yang berbahagia, memakan harta di rumahku lalu setelah mulai tiris mereka pergi. Juga bagaimana aku berpikir betapa sial tidak memiliki satu-pun orang yang menjadi keluarga.
--------
                “I’ll take you here on 7 am.” Kata Zoe sebelum melepaskan kuncian pintu.
                “I need to sleep over the day. Brilliant brain need to rest.”
                Zoe tertawa geli mendengar jawabanku, “What kind of brilliant, Little Miss? Leave the sleep. We’ll found our mom tomorrow.”

                “Nonsense.” Jawabku, keluar dari ‘barang pribadi’nya yang mewah dan patut dipamerkan itu.