Hal apa yang paling menyibukanmu
dalam hidup? Apakah pekerjaan? Keluarga? Sekolah?
Bagiku tidak semua
dari itu menarik untuk dijadikan kesibukan. Aku rasa-rasanya tidak suka dengan
semua hal yang kutemui. Terlebih kau.
Bicara denganmu bisa
membuatku harus berusaha keras menjadi orang lain. Mengetahui keberadaanmu cuma
menambah sakit kepalaku saja. Senyummu itu tidak berguna selain menjadi
tambahan alasan bagiku untuk membencimu. Dan seluruh orang di dunia. Aku tidak
suka kau tersenyum sambil berpikir ini hiburan bagimu. Karena semua orang yang
kutemui selalu berpikiran begitu.
--------
Ini Pegunungan. Sebuah
kota yang begitu aneh. Disini tidak terlalu banyak orang tinggal. Setidaknya
tidak bila dibandingkan dengan Jakarta. Ini kota Batu. Pertengahan antara Kota
Malang dan Kabupaten Malang. Jawa Timur, timurnya pulau Jawa.
Aku bersyukur dapat
kembali ke tempat semacam ini. Setidaknya ini lebih segar daripada di pantai.
Aku tidak suka ke pantai, terlebih liburan akhir tahunku selalu di isi dengan
pergi ke pantai bersama orang-orang bodoh sekelas. Tidak di Jakarta, tidak
disini, aku tidak suka pantai, membuatku terobsesi untuk ditelan keserakahan
alam saja. Semacam gelombang lautan yang menyeret ke tengah pusaran. Sebab
sejak aku lahir, aku hanya kenal keserakahan manusia yang mengunyahku hingga
serpihan.
Ini berlebihan.
Setidaknya sekarang aku
tidak sendirian.
“Voleta Zora.”
Ujarnya.
“Vincent Zoe.”
Balasku, “Ternyata seperti ini rasanya bicara dengan saudara kandung.”
Kami benar-benar duduk
di pinggir jurang seperti yang pernah kulakukan tiga tahun lalu, di tempat ini.
“Apakah kita kembar?”
tanyaku.
Zoe tersenyum lebar,
lalu menyeruput lagi secangkir besar cappuccino-nya.
Ia menggeleng, “menyedihkan sekali, adik. Don’t
you really like a fool? Apa saja yang di ajarkan ibumu selama ini?”
“Kalau begitu jarak
kelahiran kita pasti ga lebih dari
setahun.”
“Kenapa?”
“Lo tuh keliatan lebih bego
dari gue.”
Matanya membelalak,
menatapku, speechless rupanya.
--------
Mau bagaimanapun aku
memang lebih bisa di andalkan daripada Zoe.
Aku punya poin IQ lebih tinggi darinya. Aku mulai terbiasa mengurus usaha ibuku
yang tanpa belaskasih itu sejak masuk perkuliahan. Kelebihanku yang paling
utama, aku bisa bekerja sendiri, aku tidak punya orang kepercayaan yang
sewaktu-waktu dapat merutukiku di belakang atau menusukku saat lengah.
Tapi ini tidak adil.
Karena Zoe jago
beladiri. Ia mengurus sahamnya di bawah bimbingan ayah sejak ia berumur 10
tahun. Ia punya segerombolan laki-laki pecundang sebayanya yang dipercayainya
dalam banyak hal. Setidaknya Zoe juga punya kulit wajah yang lebih cerah
dariku. Ia tidak perlu mengalami masa kanak-kanak dimana para ibu begitu
mengkhawatirkan kulit sensitif anaknya meradang sehingga memakaikan begitu
banyak anti-UV yang malah membuat pigmen kulit transisi warna.
Setidaknya saat ini
Zoe bisa menemui ayah ketika pulang ke Singapur sementara aku tidak dapat
menemukan ibu dimanapun sejak hampir 6 tahun terakhir ini. Aku tidak tahu.
Aku memang selalu jadi
orang yang ditinggalkan. Saat ini, kemarin lalu maupun di masa depan.
Setidaknya aku lebih dapat di andalkan. Aku tidak seperti Zoe, saudaraku. Dia
manja dan sok tahu.
--------
Jalan menuju Kota
Malang hanya lurus saja. Setelah kami singgah sholat maghrib di Masjid besar di
persimpangan jalan protokol. Aku berencana untuk tidur saja, membiarkan Zoe
menyetir sendirian. Aku sudah cukup tersakiti seharian ini, mendengarkan kabarnya
yang 18/19 tahun terakhir ini.
Sebenarnya aku masih
berkeyakinan kami kembar tapi Zoe bilang, itu tidak mungkin. Ia punya dua akte
kelahiran, yang satunya bertuliskan tahun 1994 dan satunya 1995. Sementara aku
punya tiga akte kelahiran, bertuliskan tahun 1992, 1994, dan 1995. Tapi tanggal
lahir kami tidak ada yang sama. Jadi Zoe yakin bahwa aku kelahiran 1995
sementara ia 1994 karena di tahun 1992 menurutnya orangtua kami belum bertemu.
Siapa yang tahu? Dia memang sok tahu.
Seperti itulah Zoe,
rambutnya lurus hitam potongan cowok
standar. Kulit langsat cerah, mata sipit tanpa lipatan kelopak yang sama
sepertiku, khas keturunan orang Cina. Dia punya jaket mahal, jeans dan handphone limited edition yang hanya bisa langsung dibeli
di Finlandia. Zoe orang kaya, tidak sepertiku. Zoe bilang itu wajar, karena aku
dibawa ibu sementara ia dibawa ayah. Seorang lelaki lebih bisa bertanggungjawab
soal bagaimana menghasilkan uang, bagaimanapun juga, katanya. Aku hanya bisa
menggelengkan kepala, lalu memalingkan wajah darinya. Kurang ajar. Mungkin
lainkali aku harus membalas dendam untuk ucapan sembrono-nya itu.
Dia tentu tidak pernah
berpikir bahwa aku begitu muak dengan uraiannya soal hidup makmur tanpa telepon
berisik yang menagih hutang sekaligus updating
harga bunga searah putaran jual beli kurs mata uang. Aku bisa gila.
“Ayah pernah cerita
soal gue?”
Zoe menggeleng. Lalu meneruskan
kembali pijakan kaki kanannya di pedal gas, kami terjebak macet di jalan yang
sekedar lurus ini. Sama seperti kebanyakan manusia, macet di jalan lurus,
saling berdesakan, sempalan.
“Sama sekali ga pernah?”
“Katanya mau tidur,
dik.”
“Kok bisa ya, mereka berdua sehebat itu. Ibu juga ga pernah ngomong-ngomong soal
elo.”
“Call me kakak, abang, mas? Big-brother, or else?” Zoe tersenyum sok dewasa. Aku jadi tambah muak.
“What a really nonsense.” Lalu aku terdiam.
Beberapa kenangan masa
laluku semburat mengalir. Bagaimana aku dikirim ke asrama yang sangat jauh dari
rumah sejak masa kecilku. Bagaimana aku pulang ke rumah dan semua orang
mengatakan bahwa ibuku telah pergi dengan hanya meninggalkan sepaket tumpukan
kertas di atas meja belajarku. Bagaimana aku memarahi orang yang jauh lebih tua
dariku di setiap rapat yang ku pimpin. Bagaimana aku menghadapi pegawai bank.
Bagaimana orang lain menggantikan ibuku lalu berpura-pura jadi kedua orangtuaku
yang berbahagia, memakan harta di rumahku lalu setelah mulai tiris mereka pergi. Juga bagaimana aku
berpikir betapa sial tidak memiliki satu-pun orang yang menjadi keluarga.
--------
“I’ll take you here on 7 am.” Kata Zoe sebelum melepaskan kuncian
pintu.
“I need to sleep over the day. Brilliant brain need to rest.”
Zoe tertawa geli
mendengar jawabanku, “What kind of
brilliant, Little Miss? Leave the sleep. We’ll found our mom tomorrow.”
“Nonsense.” Jawabku, keluar dari ‘barang pribadi’nya yang mewah dan
patut dipamerkan itu.