Thursday, December 26, 2013

Setidaknya (Part Three)

                    Hal apa yang paling menyibukanmu dalam hidup? Apakah pekerjaan? Keluarga? Sekolah?
                Bagiku tidak semua dari itu menarik untuk dijadikan kesibukan. Aku rasa-rasanya tidak suka dengan semua hal yang kutemui. Terlebih kau.
                Bicara denganmu bisa membuatku harus berusaha keras menjadi orang lain. Mengetahui keberadaanmu cuma menambah sakit kepalaku saja. Senyummu itu tidak berguna selain menjadi tambahan alasan bagiku untuk membencimu. Dan seluruh orang di dunia. Aku tidak suka kau tersenyum sambil berpikir ini hiburan bagimu. Karena semua orang yang kutemui selalu berpikiran begitu.
--------
                Ini Pegunungan. Sebuah kota yang begitu aneh. Disini tidak terlalu banyak orang tinggal. Setidaknya tidak bila dibandingkan dengan Jakarta. Ini kota Batu. Pertengahan antara Kota Malang dan Kabupaten Malang. Jawa Timur, timurnya pulau Jawa.
                Aku bersyukur dapat kembali ke tempat semacam ini. Setidaknya ini lebih segar daripada di pantai. Aku tidak suka ke pantai, terlebih liburan akhir tahunku selalu di isi dengan pergi ke pantai bersama orang-orang bodoh sekelas. Tidak di Jakarta, tidak disini, aku tidak suka pantai, membuatku terobsesi untuk ditelan keserakahan alam saja. Semacam gelombang lautan yang menyeret ke tengah pusaran. Sebab sejak aku lahir, aku hanya kenal keserakahan manusia yang mengunyahku hingga serpihan.
                Ini berlebihan.
                Setidaknya sekarang aku tidak sendirian.
                “Voleta Zora.” Ujarnya.
                “Vincent Zoe.” Balasku, “Ternyata seperti ini rasanya bicara dengan saudara kandung.”
                Kami benar-benar duduk di pinggir jurang seperti yang pernah kulakukan tiga tahun lalu, di tempat ini.
                “Apakah kita kembar?” tanyaku.
                Zoe tersenyum lebar, lalu menyeruput lagi secangkir besar cappuccino-nya. Ia menggeleng, “menyedihkan sekali, adik. Don’t you really like a fool? Apa saja yang di ajarkan ibumu selama ini?”
                “Kalau begitu jarak kelahiran kita pasti ga lebih dari setahun.”
                “Kenapa?”
                “Lo tuh keliatan lebih bego dari gue.”
                Matanya membelalak, menatapku, speechless rupanya.
--------
                Mau bagaimanapun aku memang lebih bisa di andalkan daripada Zoe. Aku punya poin IQ lebih tinggi darinya. Aku mulai terbiasa mengurus usaha ibuku yang tanpa belaskasih itu sejak masuk perkuliahan. Kelebihanku yang paling utama, aku bisa bekerja sendiri, aku tidak punya orang kepercayaan yang sewaktu-waktu dapat merutukiku di belakang atau menusukku saat lengah.
                Tapi ini tidak adil.
                Karena Zoe jago beladiri. Ia mengurus sahamnya di bawah bimbingan ayah sejak ia berumur 10 tahun. Ia punya segerombolan laki-laki pecundang sebayanya yang dipercayainya dalam banyak hal. Setidaknya Zoe juga punya kulit wajah yang lebih cerah dariku. Ia tidak perlu mengalami masa kanak-kanak dimana para ibu begitu mengkhawatirkan kulit sensitif anaknya meradang sehingga memakaikan begitu banyak anti-UV yang malah membuat pigmen kulit transisi warna.
                Setidaknya saat ini Zoe bisa menemui ayah ketika pulang ke Singapur sementara aku tidak dapat menemukan ibu dimanapun sejak hampir 6 tahun terakhir ini. Aku tidak tahu.
                Aku memang selalu jadi orang yang ditinggalkan. Saat ini, kemarin lalu maupun di masa depan. Setidaknya aku lebih dapat di andalkan. Aku tidak seperti Zoe, saudaraku. Dia manja dan sok tahu.
--------
                Jalan menuju Kota Malang hanya lurus saja. Setelah kami singgah sholat maghrib di Masjid besar di persimpangan jalan protokol. Aku berencana untuk tidur saja, membiarkan Zoe menyetir sendirian. Aku sudah cukup tersakiti seharian ini, mendengarkan kabarnya yang 18/19 tahun terakhir ini.
                Sebenarnya aku masih berkeyakinan kami kembar tapi Zoe bilang, itu tidak mungkin. Ia punya dua akte kelahiran, yang satunya bertuliskan tahun 1994 dan satunya 1995. Sementara aku punya tiga akte kelahiran, bertuliskan tahun 1992, 1994, dan 1995. Tapi tanggal lahir kami tidak ada yang sama. Jadi Zoe yakin bahwa aku kelahiran 1995 sementara ia 1994 karena di tahun 1992 menurutnya orangtua kami belum bertemu. Siapa yang tahu? Dia memang sok tahu.
                Seperti itulah Zoe, rambutnya lurus hitam potongan cowok standar. Kulit langsat cerah, mata sipit tanpa lipatan kelopak yang sama sepertiku, khas keturunan orang Cina. Dia punya jaket mahal, jeans dan handphone limited edition yang hanya bisa langsung dibeli di Finlandia. Zoe orang kaya, tidak sepertiku. Zoe bilang itu wajar, karena aku dibawa ibu sementara ia dibawa ayah. Seorang lelaki lebih bisa bertanggungjawab soal bagaimana menghasilkan uang, bagaimanapun juga, katanya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, lalu memalingkan wajah darinya. Kurang ajar. Mungkin lainkali aku harus membalas dendam untuk ucapan sembrono-nya itu.
                Dia tentu tidak pernah berpikir bahwa aku begitu muak dengan uraiannya soal hidup makmur tanpa telepon berisik yang menagih hutang sekaligus updating harga bunga searah putaran jual beli kurs mata uang. Aku bisa gila.
                “Ayah pernah cerita soal gue?”
                Zoe menggeleng. Lalu meneruskan kembali pijakan kaki kanannya di pedal gas, kami terjebak macet di jalan yang sekedar lurus ini. Sama seperti kebanyakan manusia, macet di jalan lurus, saling berdesakan, sempalan.
                “Sama sekali ga pernah?”
                “Katanya mau tidur, dik.”
                “Kok bisa ya, mereka berdua sehebat itu. Ibu juga ga pernah ngomong-ngomong soal elo.”
                “Call me kakak, abang, mas? Big-brother, or else?” Zoe tersenyum sok dewasa. Aku jadi tambah muak.
                “What a really nonsense.” Lalu aku terdiam.
                Beberapa kenangan masa laluku semburat mengalir. Bagaimana aku dikirim ke asrama yang sangat jauh dari rumah sejak masa kecilku. Bagaimana aku pulang ke rumah dan semua orang mengatakan bahwa ibuku telah pergi dengan hanya meninggalkan sepaket tumpukan kertas di atas meja belajarku. Bagaimana aku memarahi orang yang jauh lebih tua dariku di setiap rapat yang ku pimpin. Bagaimana aku menghadapi pegawai bank. Bagaimana orang lain menggantikan ibuku lalu berpura-pura jadi kedua orangtuaku yang berbahagia, memakan harta di rumahku lalu setelah mulai tiris mereka pergi. Juga bagaimana aku berpikir betapa sial tidak memiliki satu-pun orang yang menjadi keluarga.
--------
                “I’ll take you here on 7 am.” Kata Zoe sebelum melepaskan kuncian pintu.
                “I need to sleep over the day. Brilliant brain need to rest.”
                Zoe tertawa geli mendengar jawabanku, “What kind of brilliant, Little Miss? Leave the sleep. We’ll found our mom tomorrow.”

                “Nonsense.” Jawabku, keluar dari ‘barang pribadi’nya yang mewah dan patut dipamerkan itu.

No comments:

Post a Comment