Seperti yang pernah kutanyakan
sebelumnya padamu, apa yang paling menyibukanmu dalam hidup ini ? Apakah
sekolah, pekerjaan, keluarga, atau sahabat ? Juga seperti yang pernah ku
sampaikan padamu sebelumnya, bagiku semua hal itu tak menarik. Aku mungkin
termasuk orang yang tak banyak bersyukur hingga tidak terlalu tahu mau
melakukan apa di dunia ini.
Baru – baru ini aku heran dengan
orang yang begitu penuh semangat. Melakukan kerja-kerja berat untuk
menyelesaikan kuliah dengan cepat. Juga orang-orang yang melakukan apapun untuk
mendapatkan pernikahan impian. Juga orang yang begitu punya banyak energi
melakukan maneuver politik. Rasanya hambar bagiku. Mengapa mereka bisa begitu
bersemangat?
--------
Ada seorang anak perempuan yang
memikat hatiku. Setiap kata – katanya adalah penghiburan bagiku. Melihatnya
membuatku merasa bahwa aku tak sebegitu menyedihkan, karena ia mempercayaiku. Namanya
Bisyaroh.
Umurnya delapan tahun, baru saja
naik kelas tiga SD. Bisyaroh yang biasa kupanggil Bibis adalah anak perempuan
yang cemerlang. Aku terutama suka padanya karena ia begitu menyukaiku. Mungkin
karena ia tidak punya saudara kandung perempuan. Bibis begitu manja setiap kami
bertemu, memeluk dan memegangi tanganku.
Ayahnya adalah orang kaya yang
kupikir tidak perlu lagi banyak khawatir. Ibu di keluarga itu adalah perempuan
paruh baya yang cantik dan murah hati. Kedua anak laki – laki mereka menempuh
kuliah pendidikan dokter dengan brilian. Aku sesekali berpikir untuk hidup
seperti itu di masa depan. Setiap kali berkunjung ke rumah mereka untuk bicara
soal lalu lintas uang antara kantongku dan kantong ayah mereka. Sesekali.
Sebuah kehidupan yang indah.
Setiap dari mereka adalah orang
yang berarti. Sebab ketiadaan salahsatunya menjadi beban yang begitu berat
untuk sanggup ditanggung masing – masing mereka. Keluarga itu saling mencintai.
Sesederhana itu saja.
Oleh karena cinta, ayah bekerja
keras. Oleh Karena cinta, ibu menjadi wanita yang begitu lembut dan
menenangkan. Oleh karena cinta, anak – anak mereka menjadi begitu menyenangkan
untuk dipandang.
Maka kupikir ada baiknya saling
menghargai dan mencintai. Lalu kita akan segera tahu apa yang ingin kita
lakukan. Juga alasan untuk menjadi bersemangat. Sebab ada sebuah perasaan yang
berarti. Menganggap penting antara satu dengan lainnya. Itu menjadikan
segalanya begitu berarti.
--------
Bibis kembali menginap di
kamarku. Seperti biasa, kami akan tertawa semalaman. Belajar matematika, main scrabble, nonton kartun, bercanda, makan cemilan. Besok memang bukan hari
sabtu atau minggu tapi kedua oranngtua Bisyaroh selalu membolehkan anaknya
menginap denganku. Mungkin karena mereka begitu percaya padaku juga lebih
tepatnya karena tidak bisa melihat Bibis berlama-lama meng-iba tidak mau
melepaskanku saat pamit dan beranjak pulang.
Aku tidak tahu bahwa saat ini
aku bisa juga dekat dengan anak kecil. Aku sebenarnya bukan tipe perempuan yang
suka sok tahu menunjukkan kasih
sayang kepada anak orang. Aku mulai jijik dengan tindakan semacam itu sejak
tahu bahwa anak – anak perempuan di kelas 1 SMP dulu beranggapan bahwa itu
adalah tanda kedewasaan, sifat keibuan. Aku seperti yang kukenal, bukan orang
seperti itu.
Tapi Bisyaroh memang anak yang
cerdas. Sekedar bahwa, ia mengajariku tentang bercita – cita. Katanya ia ingin
menjadi sepertiku. Belajar dengan keras agar bisa masuk fakultas hukum dan
menguasai beberapa bahasa. Lalu berusaha ikut program akselerasi di SMP dan SMA
agar bisa menjadi mahasiswa baru pada umur 15 tahun. Bisyaroh mungkin tidak
tahu bahwa itu bukan suatu kebanggaan bagiku seperti yang orang – orang
sangkakan terhadapku.
Apa aku harus juga bercita –
cita?
Apakah aku harus juga berusaha
jadi seperti seseorang? Menargetkan diriku untuk melakukan ini dan itu pada
umur segini dan segitu. Apakah aku harus?
Maka aku ingin menjadi seorang
pimpinan lembaga intelijen nasional. Kehidupan seorang intelijen sepertinya
paling tepat untuk ku jalani. Sebab jika itu seperti apa yang diceritakan orang
– orang dalam film – film, maka aku siap untuk tidak menjadi diriku dalam tugas
– tugas kenegaraan. Bukankah itu sangat patriotik? Aku tidak bisa menemukan
diriku dan sebagai gantinya aku begitu berguna. Aku harus lulus dari fakultas
hukum, memimpin lembaga kajian kebijakan publik untuk memahami peta politik internasional,
nasional dan daerah. Lalu menjadi berpengaruh dan menunggu di rekrut Presiden,
kemudian menjabat kedudukan politik di lembaga intelijen nasional. Aku meracau.
Hanya, bahwa aku ingin bisa menemukan petualanganku sendiri karena aku
tidak akan begitu dicintai. Allah pastilah telah mengatur bagaimana hidupku
tahun – tahun depan, sebagaimana Ia-lah Yang Maha Mengatur hidupku di tahun –
tahun sebelum ini, pada kenyataanya, aku tidak memiliki cita – cita apapun. Aku
selama ini, hanya menyelesaikan masalah – masalah agar aku bertahan hidup,
kurasa, seperti itulah aku juga di masa depan.
Aku rupanya belum juga jadi
pembelajar yang baik terhadap setting kehidupan keluarga Bisyaroh yang
mempesonakanku. Juga belum jadi murid yang baik dalam bercita – cita layaknya
Bisyaroh. Untuk bersyukur dan menjadikan segalanya begitu berarti. Sebenarnya
itu hanya keserakahan saja, kupikir.